Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Guru - M Musa Hasyim

Guru PPKn yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ungkapan "Makan Enggak Makan yang Penting Kumpul" di Masa New Normal

27 Mei 2020   12:05 Diperbarui: 30 Mei 2020   05:19 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebiasaan kumpul bersama masyarakat Indonesia, sumber: kompas.com/Fadlan Mukhtar Zain

Wacana The New Normal, atau Jokowi menyebutnya tatanan baru, ini sepertinya memang akan diimplementasikan di beberapa daerah di Indonesia. Mungkin juga ke seluruh Indonesia dengan memperhatikan protokol kesehatan tentunya.

The New Normal yang akan dimulai pada awal Juni mendatang ini terbagi menjadi beberapa fase, tak sampai di bulan Juli, semua sendi kehidupan akan berjalan sebagaimana biasanya seperti sesaat sebelum adanya pandemi.

Di tengah wacana The New Normal, ada pihak yang tidak setuju tapi banyak pula yang setuju. Mungkin ini didasari oleh beberapa sebab seperti masyarakat yang sudah bosan berdiam diri di rumah dan kondisi dompet yang harus diisi ulang.

Mereka yang tidak sepakat dengan The New Normal ini tentu tidak asal-asalan menyuarakan ketidaksetujuannya. Apalagi jika melihat angka penyintas Covid-19 di Indonesia yang masih terbilang tinggi di Asia Tenggara. Ditambah fasilitas kesehatan yang dianggap belum terlalu mumpuni menjadi satu dari sekian alasan mereka kurang setuju.

Sementara saya sendiri, antara setuju dan tidak setuju tergantung kondisi dan situasinya saat ini. Ketidaksetujuan saya berkaitan dengan kebiasaan orang Indonesia yang sepertinya sulit untuk diabaikan begitu saja.

Apalagi kalau bukan "mangan ora mangan seng penting kumpul, makan atau tidak makan yang penting bisa kumpul bareng". Ungkapan ini sudah mendarah daging di masyarakat kita karena negara kita juga terkenal prinsip gotong-royongnya.

Masyarakat kita yang lebih memilih bersosialisasi ketimbang menyendiri dan kebiasaan kita untuk saling tolong-menolong antar sesama.

Berbeda dengan kebiasaan di Korsel yang mungkin sebagian warganya tidak suka diganggu. Bahkan saya pernah melihat sebuah cuplikan video yang menyatakan bahwa kebanyakan rumah atau apartemen di Korsel yang tidak memiliki ruang tamu karena mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama orang yang dikenalnya saja.

Sementara itu kebiasaan di Korsel berbeda jauh dengan negara kita, contohnya saja ketika mau mengadakan hajatan maka seluruh tetangga diundang padahal ada juga yang tidak dikenalnya.

Tak hanya hajatan, ada banyak sekali acara ritual keagamaan yang sering dihadiri orang-orang dari seluruh kalangan di negara kita. Sedangkan di Korsel, atheis justru mendominasi ketimbang mereka yang beragama. Karena atheis, warga Korsel tentu tidak bersembahyang ke gereja, masjid atau kuil sehingga kemungkinan terpapar virusnya sangat kecil.

Saya bukannya menyalahkan yang beragama, hanya saja protokol kesehatan selalu saja diabaikan ketika seseorang beribadah. Bahkan banyak mereka yang memasrahkan Covid-19 kepada Tuhan sehingga mereka acuh tak acuh terhadap protokol kesehatan seperti tidak memakai masker, berjabatan tangan dan tidak menjaga jarak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun