Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Guru - M Musa Hasyim

Guru PPKn yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Sejarah Kelamnya Perbudakan di Atas Kapal

13 April 2020   20:01 Diperbarui: 13 April 2020   20:05 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perdagangan manusia di kapal, sumber: pixabay.com/DarkWorkX 

Ketika Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki moral bangsa Arab pada waktu itu, Nabi Muhammad menolak tegas akan perbudakan. Budak dianggap mencederai kemerdekaan seseorang. Islam hadir dengan melarang perbudakan.

Sayangnya, praktik perbudakan masih ada dan diminati. Nabi Muhammad tidak langsung ujug-ujug melarang budak melainkan bertahap demi tahap. Pertama, Nabi Muhammad mengimbau rekan-rekan muslimnya untuk memberi makan budak dan memberikan pakaian yang layak karena itu menjadi hak dari seorang budak.

Kedua, terkait praktik perbudakan di atas kapal, Nabi Muhammad menganjurkan agar ada pengawas khusus agar budak tidak diperlakukan semena-mena di atas kapal. Nabi Muhammad juga memberi syarat agar tempat laki-laki dan perempuan dipisah di dalam kapal. Ini dilakukan agar tidak terjadi tindakan pencabulan di dalam kapal.

Perlahan-lahan perbudakan mulai hilang setelah banyak masyarakat Arab memeluk Islam terutama dalam periode Madinah ketika Nabi Muhammad hijrah karena perlakuan buruk dari kaum Quraisy Makkah.

Di era Madinah ini, banyak sahabat Nabi Muhammad yang berlomba-lomba membebaskan budak dengan cara membelinya kepada tuan atau majikannya lalu dibebaskan kehidupannya. Utsman bin Affan sebagai salah satu sahabat terkaya Nabi Muhammad, membebaskan budak setiap hari Jumat. Begitupun dengan sahabat lainnya.

Setelah kepergian Nabi Muhammad, praktik perbudakan belum hilang sepenuhnya. Masih banyak pedagang yang membutuhkan jasa budak sampai ada pasar khusus untuk budak ini. Budak dianggap kelas terendah sehingga tidak memiliki kebebasan yang sempurna.

Terkait status rendahnya budak di masyarakat ini, sampai-sampai jika terjadi kebocoran kapal maka budak menjadi orang pertama yang harus dibuang ke laut. Budak dianggap barang (bukan lagi manusia) atas persetujuan majikan atau tuan budaknya. Praktik ini jelas dilarang oleh Islam.

Mereka diperlakukan sebagai kargo dan dijual berdasarkan nilai pasar dengan melihat kontribusinya. Jika budaknya perkasa dan pandai berbagai hal maka budak dijual dengan harga tinggi. Sebaliknya, jika budak itu cacat atau tidak memiliki kepandaian apapun maka harganya sangat murah.

Lalu apa yang didapatkan seorang budak? Mereka digaji hanya dengan makanan, minuman, tempat tidur, dan pakaian. Mereka terikat dengan tuan atau majikannya. Namun banyak juga di antara mereka yang hanya dijadikan budak pemuas nafsu belaka. Sungguh miris.

Perbudakan saat ini memang sudah tidak ada karena selain dilarang agama namun juga dilarang PBB karena termasuk ke dalam kejahatan internasional berupa perdagangan manusia. Anehnya, sebagian orang Arab masih menganggap tenaga kerja atau pembantu rumah tangga sebagai budak sehingga tidak heran jika kasus pelecehan seksual terhadap TKI terus terjadi.

Mereka masih beranggapan bahwa TKI bebas diapa-apakan oleh majikannya. Jika sudah demikian, mereka bisa apa selain melawan. Sayangnya melawan majikan sama saja berurusan dengan hukum. Lihat saja banyak TKI yang membunuh majikannya atas dasar perlindungan diri dari pelecehan seksual malah dihukum mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun