Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Guru - M Musa Hasyim

Guru PPKn yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Sulitnya Menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Desa

1 April 2020   20:01 Diperbarui: 15 Maret 2021   11:10 2943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Antara/Sigid Kurniawan via KOMPAS.com

Tak disangka bahwa Jokowi tidak menerapkan kebijakan lockdown sebagaimana Amerika Serikat, India, Italia dan berbagai negara di dunia lainnya akibat semakin ganasnya Covid-19. 

Jokowi enggan menerapkan karantina wilayah dan lebih memilih kebijakan lain yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tentu banyak alasan, baik alasan politis, ekonomi, maupun kesehatan. Tapi warganet sepertinya lebih doyan menyebutnya alasan politis.

Lalu apa bedanya semua itu? Karantina wilayah atau lockdown itu didasari pada pembatasan yang lebih luas karena masyarakat di suatu wilayah dilarang melakukan aktivitas apapun sehingga aktivitas suatu masyarakat dijaga secara ketat dan tegas. 

Menurut Sosiolog UI, Imam Prasodjo, karantina wilayah dalam praktiknya lebih ekstrem karena masyarakat tidak boleh keluar dan masuk dari wilayah yang dikarantina sehingga banyak moda transportasi berhenti beroperasi.

Sementara PSBB masih lebih longgar, meskipun sekolah, kampus, dan kantor ditutup tapi orang-orang masih bisa lalu lalang ke sana dan kemari. Cakupan wilayah PSSB itu tidak seluas karantina wilayah apalagi jika melihat topologi wilayah Indonesia yang berpulau-pulau banyaknya, tidak seperti Amerika Serikat dan India. 

Jika Indonesia benar-benar melakukan karantina wilayah maka mobilitas antar pulau dan wilayah akan sangat dibatasi dan menjadi lumpuh total. Jangan sampai berakhir seperti India.
Apapun karantina wilayah dan PSBB, semuanya akan sulit diterapkan di desa-desa. Kenapa bisa sulit? Terutama dengan poin pembatasan kegiatan keagamaan dan kegiatan di tempat umum.

Pertama, terkait aspek pembatasan kegiatan keagamaan di desa di mana sisi religius suatu masyarakat di desa lebih tinggi ketimbang di kota-kota. Saya yang terbiasa hidup di desa maupun kota, sangat merasakan hal ini. 

Ketika virus Covid-19 merajalela, saya cukup kaget dengan pengumuman melalui pengeras suara masjid yang menyatakan bahwa salat Jumat di sekitar Depok diliburkan selama dua pekan ke depan. Tak hanya satu masjid, hampir semua masjid di kota itu menerapkan kebijakan atas arahan MUI pusat.

Lain lagi ketika saya mudik ke desa beberapa hari setelah isolasi diri selama dua pekan ini. Saya kaget karena semua masjid tidak ada yang libur. Masyarakat beranggapan bahwa meliburkan salat Jumat sama artinya dengan bersikap angkuh kepada Tuhan yang menciptakan virus. 

Pengurus masjid hanya mengantisipasinya dengan mengimbau jemaah untuk mencuci tangan menggunakan sabun yang sudah disediakan pengurus masjid, tidak bersalaman, melarang perantau yang baru pulang dari kota untuk salat Jumat dan mempersingkat durasi salat Jumat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun