Mohon tunggu...
Musyaffa M Sos
Musyaffa M Sos Mohon Tunggu... Dosen - When we should change, there is chance

We never die, couse always think and show writting....

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kerancuan Informasi Covid-19: Polemik Juru Bicara dengan Pejabat Lain

5 April 2020   01:00 Diperbarui: 5 April 2020   22:22 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar I: Alur Kerja Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 (Perspektif Organisasi Kehumasan)

Hingga akhir pekan pertama pada April 2020, tercatat dua ribu lebih kasus Coranavirus Deseases 2019 (Covid-19) di Indonesia. Sejak diumumkan pada awal Maret 2020, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, menandai peran negara guna  mengambil alih penanganan pencegahan Covid-19 secara nasional. Dua hari setelahnya, pada 4 Maret 2020, pemerintah resmi membentuk satu organisasi atau badan, sebagai unit tersendiri yang fokus menangani pandemi global tersebut. Terbentuklah unit khusus penanganan, selanjutnya dikenal, 'Gugus Tugas Penanganan Covid-19'. Unit tersebut langsung dikomandoi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letnan Jenderal TNI Doni Monardo. Secara proporsional, hal itu sudah sesuai dengan konteks yang terjadi.

          Seiring berjalannya waktu, atas hiruk-pikuk dan desas-desus di masyarakat, maka penting adanya sistem komunikasi yang valid dan resmi dari pemerintah, tentunya melalui Gugus Tugas yang sudah terbentuk. Karena, segala informasi merupakan hal yang penting dan sangat dinanti oleh publik, maka tim perlu menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai aktor sekaligus operator pengendali dan penyampai informasi. Kemudian, pemerintah mengganggap penting untuk menunjuk seseorang untuk menjadi juru bicara pemerintah guna penanganan virus Corona. Dokter Achmad Yurianto selanjutnya terpilih menjadi juru bicara tersebut. Konsep The right man, the right place diterapkan oleh pemerintah, saat penunjukkan Achmad Yurianto. Hal ini berdasarkan atas pengalamannya sebagai Sekretaris Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

          Posisi Achmad Yurianto sebagai Jubir Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 semakin proporsional, menyusul dilantiknya ia sebagai Direktur Jenderal P2P Kemenkes, pada 9 Maret 2020. Artinya, posisinya menjadi lebih strategis, sebelumnya menjadi Sekretaris Jenderal, saat ini sudah menjadi Direktur Jenderal. Artinya, pria yang juga berstatus sebagai perwira utama kesatuan TNI ini, memiliki peran strategis dalam hal penanganan Covid-19, bersama tim Gugus Tugas yang telah terbentuk. Karenanya, tidak masalah atas  penunjukkan Achmad Yurianto. Hal itu telah sesuai dengan proporsinya. Dalam perspektif psikologi komunikasi, prior ethos telah terbentuk.

          Sejak Achmad Yurianto bertugas sebagai jubir, ia menjadi perhatian media. Sejak saat itu, implikasinya terhadap kehadiran di media menguatkan eksistensi atas intensitas hadirnya dihadapan publik. Menjelang pukul 16.00 atau saat sore hari tiba, ia kerap melakukan konferensi pers. Konferensi Pers selalu dilakukan saat sore hari, mengingat sore hari merupakan waktu penting dalam perspektif media (Primetime). Waktu sore merupakan waktu yang tepat, saat banyak orang tengah beristirahat dari aktivitas apapun dalam keseharian. Melalui konferensi pers pula, ia selalu menyebutkan berbagai hal penting terkait upaya pemerintah melakukan penanganan pandemi Covid-19. Tidak hanya mengenai progres angka kasus, angka kematian, dan angka sembuh. Tetapi, ia juga terus mengajak masyarakat untuk mengikuti berbagai hal guna memutus mata rantai penularan Covid-19. Harapannya, agar masyarakat bersedia mengikuti anjuran dari pemerintah.

          Dalam perspektif Publikc Relations atau Hubungan Masyarakat (Humas), Achmad Yurianto beserta pemerintah tergolong sebagai praktisi humas pada organisasi non-profit.  Jelas, bahwa organisasi pemerintah bukanlah organisasi yang berorientasi pada keuntungan, hasil, laba, bunga. Tetapi, berorientasi pada kepuasan publik. Jubir sebagai agen humas pemerintah harus mempertimbangkan dan menjadikan kepuasan publik sebagai indikator keberhasilannya. Dalam teori kehumasan, secara struktural, Humas merupakan bagian integral dari suatu organisasi, dimana Humas merupakan salah satu fungsi manajemen modern yang bersifat melekat pada manajemen perusahaan (corporate management function), atau manajemen organisasi atau unit pemerintahan. Hal tersebut berarti humas dapat berperan dalam melakukan komunikasi timbal balik (two ways communications) dengan tujuan menciptakan serta memelihara sikap saling pengertian (mutual understanding), saling mempercayai, menciptakan goodwill, memperoleh dukungan publik dan demi terciptanya corporate image yang positif (Soemirat & Ardianto, 2010).[1]

 

Gambar di atas, merupakan kondisi ideal yang menunjukkan posisi praktisi humas. Secara praktis, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 memiliki wewenang valid dalam menyampaikan perkembangan upaya pemerintah dan kondisi riil Covid-19 kepada masyarakat. Melalui upaya ‘satu pintu’, maka akan diperoleh informasi yang homogen. Hal ini agar informasi dan atau berita yang muncul dihadapan publik hanya terdiri dari satu versi saja. Meskipun, sesekali, Presiden sebagai kepala negara juga memiliki wewenang untuk menyampaikan segala kebijakan dalam situasi genting seperti saat ini. Presiden sebagai kepala negara, tentu memiliki opsi dalam penyampaian kebijakan pemimpin tertinggi. Hal itu dapat saja ditempuh melalui juru bicara presiden, Kepala Staf Kepresidenan, Menteri terkait, atau Presiden sendiri yang secara langsung menyampaikan. Fleksibilitas itu sepertinya mempunyai resiko beragam. Jika tidak dikemas dengan baik, maka akan menimbulkan kerancuan informasi di masyarakat. Bukan mustahil, kemasan komunikasi atas informasi beragama berakibat pada situasi kebingungan terhadap publik. Apalagi hal itu disertai dengan gaya bahasa dan komunikasi dari pemerintah itu sendiri. Untuk meminimalisir resiko, selain Presiden langsung yang menyampaikan, maka, penting juga Juru Bicara Pemerintah yang berwenang penuh menyampaikan informasi ke publik. Peran media pers menjadi vital, karena membutuhkan kerjasama dari mitra media, melalui konferensi pers resmi setiap hari.  Dalam perkembanganya, tim gugus tugas atau jubir  juga dapat memaksimalkan potensi penggunaan media sosial resmi dan situs penanganan Covid-19.

 

Jika hanya ada dua unsur, yakni: Presiden dan Juru Bicara yang boleh menyampaikan informasi dihadapan publik. Maka unsur yang lain, tentu harus menyadari untuk tidak turut serta menyampaikan informasi perkembangan status isu melalui media di masyarakat. Kenyataannya, sudah genap satu bulan, masih saja ada unsur lain yang turut menyampaikan informasi, sehingga apa yang dikhawatirkan terjadi. Misal, munculnya ambiguitas informasi yang menimbulkan diskresi dan citra negatif terhadap gaya komunikasi pemerintah kepada publik. Mestinya, hal ini harus dapat dihindari. Padahal, dua unsur berwenang, masih memiliki peluang memunculkan kontroversial di masyarakat.

Seperti halnya Jubir Achmad Yurianto, sejak awal hingga beberapa hari belakangan ini, ia kerap tampil dengan bahasa komunikasi yang sulit untuk dipahami oleh masyarakat. Hingga muncul opini publik, bahwa Jubir harus mengurangi berbagai istilah asing yang sulit diterima oleh masyarakat. Sepertinya hal ini penting bagi setiap jubir, agar pesan seutuhnya diterima oleh publik. Istilah asing hanya akan menjadi noise bagi kebanyakan publik, terhadap pesan yang diutarakannya. Bahkan beberapa kali menjelang akhir Maret 2020, ia kerap melontarkan bahasa kontroversial, sehingga sempat menyulut persepsi beragam di masyarakat, terutama masyarakat dunia maya (netizen).

Keadaan ini semakin tidak menentu, karena beberapa unsur dari pemerintah sebagaimana penulis utarakan di atas, turut serta menjadi agen penyampai informasi. Beberapa deretan bukti kontroversi tersebut antara lain: Pertama, Pemerintah Indonesia melalui Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana BNPB, Agus Wibowo meralat jumlah pasien positif corona, Jum’at (20 Maret 2020). Sebelumnya, Jubir Achmad Yurianto menyebut 309 kasus positif, namun diralat oleh Agus Wibowo menjadi 308 kasus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun