Musim setor ongkos haji pun tiba. Setiap orang yang mau dapat kursi, harus menyetor 20 juta. Kamipun menghitung hasil keringat. Alhamdulillah, terkumpul 6.000 dolar. Saat itu, 1 dollar Australia sama dengan 7.000 rupiah. Jadi terkumpul 42.000.000. Bingo!! Alhamdulillah, cukup untuk mendaftar berdua. Sisanya boleh dilunasi waktu kami pulang nanti. Kamipun mengirim uang tersebut ke kampung via Yanti, anak Kak Ti di Blang Oy, untuk didaftarkan.
PLYMPTON - ADELAIDE, 24 DESEMBER 2004
Kriiiiiing. Telepon berdering ketika saya lagi menjemur pakaian. Dari Pak Zahnur. Ada apa ya? Padahal kami baru saja jumpa tadi di acara Welfare Party. Makan Sate Padang di Dormitory Mas Yudhi. Selamatan wisuda S2. "Assalamu alaikum. Ada apa Pak?", tanya saya. "Coba buka TV. Di Aceh tsunami tadi pagi. Korban dimana-mana, Malaysia, Thailand, India dan Srilanka. Tetapi, Banda Aceh belum ada berita". Whats?! Ya Allah, tsunami itu apa? Nggak ada vocab itu di minda saya. Ternyata, itu semacam banjir besar dari laut. Disebabkan gempa bumi besar.
Sejak saat itu, saya membuka TV dan internet, memantau berita dengan kawan-kawan via Yahoo messenger. Saya dapat informasi bahwa keluarga Kak Ti / Yanti di Blang Oy habis semua. Keluarga hanya bisa menemukan jenazah Yanti. Yang lainnya tidak tahu kemana. Namun, Yanti sudah menyerahkan buku haji kami ke kampung, seminggu sebelum tsunami. Tidak hanya keluarga Kak Ti, abang istri tertua, Bang Jumadi juga nggak dapat jenazahnya. Keluarga hanya menemukan mobilnya. Malah, banyak jemaah haji dan pengantarnya meninggal pada hari itu. Mungkin ini juga hikmah Ibu waiting list.
BANDA ACEH, 1 TAHUN KEMUDIAN.
Pertama, perjalanannya jauh dan melelahkan. Delapan jam dengan pesawat. Berangkat sore dari Aceh, tengah malam tiba di bandara International King Abdul Aziz Jeddah. Dari sana, naik bus lagi menuju Mekkah, saat itu belum ada Tol. Perjalanan 3-4 jam. Hampir subuh baru sampai disana. Kami ambil miqat, tanda dimulainya ibadah haji. Sesampai di Mekkah. Kami menuju Ka'bah sejauh 9 Km dari asrama. Dua kali naik bus berbeda. Prosesi ini melelahkan. Kurang lebih 24 jam dengan aktifitas yang berbeda. Belum lagi angkat mengangkat koper 30 kilo. Saya harus mengangkat 3 koper sekaligus. Punya sendiri, punya ibu dan punya istri yang baru 4 bulan melahirkan.
Ketika melempar jumrah, beliau juga minta diwakili. Perjalanan 8-10 km pulang pergi jalan kaki sangat melelahkan. Demikian juga ketika tawaf wada (tawaf perpisahan), dari awal hingga akhir harus didorong dengan kursi roda.
Ini harus dilakukan di lantai 2, putarannya mungkin 7-10 kali lebih besar radiusnya dibanding tawaf langsung di depan Ka'bah. Bahkan, ketika kami melanjutkan perjalanan ke Medinah. Kami disambut cuaca dingin. Ibu beberapa kali tidak sanggup pergi shalat ke Mesjid Nabawi. Padahal hanya berjarak 700 meter. Lebih parah lagi, ibu mengalami dehidrasi. Karena dingin, beliau tidak mau banyak minum air, takut ke toilet sebentar-sebentar.
Kejadian berakhir, beberapa orang tua mengalami sakit-sakitan dan pikun. Ada yang mulai berangkat sakit, baru sembuh ketika pulang. Ada yang hilang dan nyasar, nggak tahu jalan pulang. Ada yang BAB dimana-mana, bahkan dalam tas/koper jamaah lain. Ada yang tidak sanggup membawa koper penuh belanjaan selama di Arab Saudi.