Ketika orang-orang sedang heboh koleksi tupeware -- saya asal punya saja sudah  merasa kaya. Sementara ibu dan bapak  lebih suka barang pecah belah. Jadi, hanya saya sendiri yang sekadar ingin punya.Â
Waktu itu, perempuan di rumah hanya saya dan ibu, adik-adik saya kuliah di kota lain.Â
Ibu dan bapak bukan penggemar bahan plastik. Semua barang- barang rumah tangga, isinya hampir semua non plastik. Kecuali ember dan baskom.Â
Kalau saya akhirnya mempunyai tupeware -- itu kebetulan saja. Itu juga tidak sengaja. Gara-gara teman main ke rumah, botol minum dan tempat makannya tertinggal.Â
Masih waktu itu -- adik bontot saya, selesai kuliah -- kembali ke rumah. Ternyata barang - barang yang dibawa pulang ke rumah orang tua, Â bukan hanya baju kuliah dan baju kerja.Â
Ada segudang barang dengan label tupeware. Ternyata, dia dagang sambil kuliah dan nyambi kerja. Barang-barang harian di tempat kos, semua tupeware.Â
Baru ku tahu, ternyata dia memiliki segalanya  yang berbau tupeware. Aneka warna, aneka bentuk, aneka peruntukannya.Â
Bawaannya membuat diriku terkenang ketika teman-teman piknik membawa sangu -- semua tempatnya tupeware.Â
Teringat masa lalu, teman-teman membawa tempat itu seperti tak ada wadah lain yang keren.Â
Kepulangan adikku dengan segudang tupeware dari tempat kost ke rumah -- menunjukkan, dia berusaha mencari tambahan dengan  membawa ke sana ke sini tupeware.Â