Mohon tunggu...
MURDIANSYAH
MURDIANSYAH Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMPN Satap 8 Baraka Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan.

"Jika kau diperhadapkan dengan beragam masalah, maka seduhlah kopi, cium aromanya, seruput perlahan lalu rasakanlah merdeka.”

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Deradikalisasi dengan Membumikan Pancasila

9 April 2021   22:44 Diperbarui: 10 April 2021   22:33 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejadian aksi Bom bunuh diri tepatnya di gerbang Gereja Katedral Makassar Minggu (28/3/2021) pukul 10.30 WITA cukup mengejutkan masyarakat Indonesia terkhusus warga Sulawesi Selatan. Aksi yang menggemparkan ini ditengarai oleh pasangan suami istri. Beruntung tidak ada korban jiwa selain dari pasangan yang melakukan aksi bom bunuh diri tersebut.

Menjelang beberapa hari berikutnya tepatnya Rabu (31/3/2021) sore, tindakan nekat juga diperlihatkan oleh seorang perempuan muda dengan menyusup masuk ke Mabes Polri yang super ketat penjagaannya tanpa terdeteksi. Aksinya menyedot perhatian karena dilakukan dengan sendiri tapi amatiran dan tidak terlatih tempur. Sampai akhirnya peluru petugas bersarang didadanya sekaligus menghentikan aksinya.

Aksi-aksi teror yang kerap terjadi di Tanah Air merupakan sinyal kuat bagi TNI dan Polri untuk lebih ekstra menyisir dan memberengus kelompok-kelompok radikal. Sampai detik ini, sel-sel terorisme masih merajalela merambah bak parasit disetiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Kelompok ini bagaikan benalu yang menyusup disetiap lapisan masyarakat Indonesia. Jika tidak ditumpas sampai ke akarnya, maka akan terus menjadi kanker yang mengancam keutuhan NKRI.

Selain menebar ketakutan, kelompok ekstremis juga dengan lantang anti pemerintah dan alergi Pancasila. Dari aksi-aksi teror yang dilakukan, sangat jelas mengindikasikan bahwa kelompok ini menolak kemajemukan. Bagi mereka, paham diluar ideologinya harus diberantas dan diperangi. Dengan jalan inilah mereka beranggapan bahwa membunuh dan terbunuh merupakan jihad dan jalan pintas menuju syurga. Memang absurd, tapi kata jihad jika hanya di maknai secara parsial pasti membuat pincang dan buta, apalagi jika dicuci dengan baiat-baiat yang berpaham radikal maka lahirlah kelompok-kelompok ekstremisme yang siap memangsa mentah ideologi yang berseberangan ideologinya.

Aksi teror yang didalangi terorisme menyentil orang nomor wahid di Indonesia dengan mengeluarkan statement. Presiden Joko Widodo beranggapan bahwa terorisme tidak ada hubungannya dengan agama tertentu, sementara asumsi lain muncul dari putri Presiden RI ke 4 (Alissa Wahid) yang menganggap bahwa aksi terorisme bersumber dari keyakinan beragama yang keliru dan berujung pada tindakan ekstemisme. Senada dengan Alissa Wahid, menurut saya dari pelaku teror baik yang meninggal karena aksi bom bunuh diri, atau meninggal karena melakukan kontak senjata dengan aparat, sampai pada mantan pelaku terorisme yang tersadarkan sangat jelas identitasnya. Umat Islam harus terbuka dan berbesar hati mengakui bahwa terdapat beberapa kelompok radikal yang melakukan aksi teror karena merasa menjalankan perintah agama berdasarkan pemahamannya. Berangkat dari kesadaran inilah upaya deradikalisasi bisa dioptimalkan.

Mendengar kisah perjalanan Ali Imron mantan terpidana teroris bom bali tahun 2002 lewat kompas tv, bahwa yang dibutuhkan dalam upaya deradikalisasi adalah sikap keterbukaan bahwa kelompok akstremis ini muncul karena bentuk kekecewaan terhadap pemerintah yang tidak memberlakukan syariat islam di tanah air secara menyeluruh, serta paham jihad yang diinterpretasikan dalam artian perang. Bagi Ali Imron hanya butuh waktu dua jam menanamkan paham jihad yang dibelokkan kegenerasi muda untuk siap mati dalam menjalankan aksi terornya. Betapa rentannya generasi terpapar paham-paham terorisme apalagi jika generasi itu sudah memiliki basic tentang jihad. Fakta inilah menurut Ali Imron masyarakat harus tau jika ingin deradikalisasi karena terorisme bisa saja berkamuflase dalam bentuk dan rupa apa saja yang tentunya cukup sulit diidentifikasi.

Upaya deradikalisasi tidak cukup jika hanya melibatkan lapisan tertentu. Semua lapisan masyarakat harus terlibat. Tidak hanya mengharapkan pemerintah, aparat keamanan dan mantan teroris yang tersadarkan, tapi juga melibatkan peran aktif masyarakat karena kelompok ekstremis ini beranak pinak dilingkungan masyarakat itu sendiri. Tanpa terkecuali lembaga pendidikan yang merupakan urat nadi mentransfusikan nilai-nilai Pancasila dan paling pokok lingkungan keluarga yang merupakan jantung pertahanan pencegahan paling intim.

Membincang tentang deradikalisasi dalam kemajemukan, tidak akan efektif jika tidak memahami pondasi dalam bernegara dan berbangsa. Falsafah hidup bangsa Indonesia terkristalisasi dalam lima dasar yang oleh Soekarno sebut dengan nama Pancasila. Berdasarkan deretan sejarah, Pancasila tidak terbentuk secara spontan tapi melalui proses yang sangat panjang. Disisi lain Pancasila tidak serta merta dikonsep dalam waktu sekejap tapi di ilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia dengan tetap berakar pada jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri.

1 Juni 1945 merupakan salah satu rangkaian momentum paling bersejarah dalam proses perumusan dasar negara Indonesia. Diwaktu inilah Soekarno memainkan peran penting dalam mensintesiskan berbagai pandangan tentang dasar falsafah. Diwaktu ini pulalah yang dikemudian hari ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila.

Dalam kutipan pidato Soekarno 1 Juni 1945 mengatakan “aku memang manusia. Manusia dengan segala kedaifan dari pada manusia. Malahan manusia jang tidak lebih daripada saudara-saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan pembuat Pancasila. Aku sekedar memformuleerkan adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang ku namakan Pancasila. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletakkan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu.”

Dari pidato lantang Soekarno, sangat jelas bahwa Indonesia dengan beragam latar membutuhkan wadah sebagai pemersatu. Hal ini sebagai bentuk upaya untuk mencegah berbagai suku bangsa, agama, ras dan antar golongan tidak sektarian, maka digalilah nilai-nilai pandangan hidup dan nilai-nilai kemanusian dari berbagai kearifan tadi lalu diintegrasikan dalam ideologi Pancasila sebagai bantalan dan haluan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun