Mohon tunggu...
Mita
Mita Mohon Tunggu... Administrasi - -

Just share my thoughts

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Dijajah Laki-Laki atau Patriarki?

16 Maret 2020   08:53 Diperbarui: 16 Maret 2020   09:18 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. Google Doodles

Saya bukan pendukung seks bebas namun saya rasa hal itu tidak adil jika yang disorot hanya perempuan. Perbedaannya adalah tidak ada stigma buruk untuk laki-laki yang belum menikah tetapi sudah tak perjaka. Laki-laki akan lebih dimaklumi "wajarlah lelaki...", "namanya juga cowo..."

Sebagai contoh kasus hamil di luar nikah, mengapa pihak perempuan yang lebih menanggung beban moral? Pasti pihak perempuan dan keluarganya yang akan lebih disalahkan "kenapa mau?", "tidak bisa jaga anak gadisnya" padahal tidak akan terjadi kalau tidak ada lelaki yang berbuat. Kalau dibilang kasihan nanti suaminya dapat sisa-sisa karena sudah bekas, mereka juga tak berpikir bahwa perempuan pun juga berpeluang dapat sisa-sisa. Sampai sini paham?

Wanita Sholeha

Wanita idaman adalah wanita baik-baik yang punya kesadaran menutup aurat. Patuh pada agama sudah pasti akan patuh pada suaminya kelak. Maka dari itu quote favorit dari laki-laki adalah "senakal-nakalnya  laki-laki pasti akan memilih wanita baik-baik untuk menjadi istrinya". 

Dalam kalimat itu terselubung kalimat 'harus jadi wanita baik-baik agar dipilih lelaki'. Kenapa terkesan perempuan yang harus behave? Padahal perempuan juga punya pilihan akan pilih laki-laki yang baik juga. 

Dalam Al'Quran pun dijelaskan dalam surat An Nur: 26, "Perempuan- perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula)...."

Budaya patriarki yang dijalani kadang blunder. Ada laki-laki yang menuntut wanitanya pakai hijab jika ingin dinikahi karena tidak ingin menanggung dosa istrinya kelak jika nanti kelaur rumah masih memperihatkan aurat. 

Padahal jika bicara dosa berkhalwat dengan yang bukan mahramnya saja sudah dosa, jika dari awal mencari istri bukan dengan cara yang diharuskan agama, mengapa ketika ingin menikah ada syarat menutup aurat. Ini blunder namanya. Tak mau menanggung dosa tetapi tanpa disadari sudah menjalankan dosa. 

Mengapa harus mengkotakkan antara perempuan yang pakai hijab dengan yang tidak pakai hijab. Perempuan yang berhijab dianggap lebih sholeha dan perempuan baik-baik. Padahal kalau perempuan sholeha tidak akan mau diajak berkhalwat, lalu apa bedanya? Apa yang terpenting menutup rambut? Sedangkan perempuan tak berhijab diberi perumpamaan mudah dihinggapi lelaki bagaikan makanan yang tidak ditutup maka akan dikerumuni lalat. Sedangkal itukah pemikirannya. 

Daripada menuntut perempuannya hijrah, lebih baik instropeksi kemampuan diri sendiri apakah sudah cukup memberi kesenangan dan ketenangan. Jadi, nanti jangan salahkan perempuan saja jika suami-istri berpisah, perempuan merubah penampilan bahkan ada yang melepas hijab seperti kasus perceraian seorang influencer dengan seorang hafidz Qu'ran. 

To be honest I stand with her. Bukan porsi kita untuk menilai apalagi menghujat. Jangan melebelkan neraka pada orang lain. Jika pada akhirnya ia memilih jalan yang tidak disetujui orang lain itu mungkin karena apa yang sudah dituntut sudah dipenuhi tapi tak dihargai. Lalu apa salahnya untuk membaskan diri dan mencintai diri sendir dari awal lagi. Berhijab ataupun tidak semua perempuan sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun