Mohon tunggu...
Mundzir Tamam
Mundzir Tamam Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Menuju Tak Terbatas dan Melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Resensi Buku: "Menjerat Gus Dur"

29 November 2020   21:26 Diperbarui: 29 November 2020   21:49 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia merupakan Negara yang menerapakan sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Namun sejatinya hingga awal abad ke-21 tak pernah ada peralihan kekuasaan secara demokratis di Indonesia. Peralihan tampuk kekuasaan di Indonesia sebelum memasuki abad 21 diwarnai dengan dekadensi lagitimasi. Terdapat tiga bidang utama yang membuat adanya dekadensi legitimasi, yaitu politik, ekonomi, dan moral.

Legitimasi merupakan suatu hal yang penting dalam pemerintahan, Ramlan Surbakti  menekankan bahwa legitimasi dalam suatu praktik kekuasaan politik sangat penting. Sebab, legitimasi berkaitan dengan keabsahan atau penerimaan masyarakat terhadap penguasa atau pihak yang memiliki otoritas. Seandainya suatu kekuasaan tidak terlegitimasi, maka akan muncul pembangkangan politik yang membuat keadaan kepemimpinan tidak kondusif bekerja. Sedangkan moral merupakan sarana untuk mengukur kadar baik dan buruknya sebuah tindakan manusia sebagai manusia, mungkin sebagai anggota masyarakat atau sebagai manusia yang memiliki posisi tertentu atau pekerjaan tertentu.

Setelah berakhirnya masa pendudukan Belanda dan Jepang, Indonesia memproklamirkan diri sebagai Negara yang berpijak diatas tanahnya sendiri. Setelah melalui warna-warni drama yang silih berganti akhirnya dikeluarkan dekrit bertanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa presiden Soekarno memegang kendali penuh kekuasaan. Akan tetapi belum selama drama yang silih berganti setelah kemerdekaan Indonesia dekadensi legitimasi terjadi.

Soekarno yang menjadikan politik sebagai panglima dalam kekuasaannya membuat dirinya menjadi seorang diktator yang tanpa tebang pilih langsung menghajar lawan politik yang dianggap tidak sejalan dengan semangat revolusionernya yang menentang kolonialisme dan imperialisme. Dalam konstelasi politik Indonesia, Soekarno menjadikan dirinya sebagai patron bagi setiap kelompok yang ingin terus menjaga eksistensinya. Selanjutnya akibat dari berfokus kepada politik membuat ekonomi Indonesia pada masa Soekarno mengalami inflasi pada tahun 1965 pada saat itu angka inflasi mencapai 650% dan membuat rakyat Indonesia kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan. Kemudian kisah asmara Soekarno dan gaya hidup para menterinya yang dianggap gemar hidup mewah menyebabkan terjadinya dekadensi moral. Akibat tidak dapat mengendalikan dekadensi-dekadensi yang telah disebutkan membuat Soekarno harus meletakan tampuk kekuasaannya dan digantikan oleh Soeharto.

Mengambil ibrah dari pemerintahan sebelumnya Soeharto mengambil langkah cepat dengan menerapkan sistem massa mengambang dimana pada fase ini aktivitas politik masyarakat dan persentuhannya dengan partai politik hanya dibatasi sampai tingkat walikota. Soeharto yang lebih memilih ekonomi sebagai panglima kekuasaanya berupaya sebaik mungkin untuk memperbaiki kondisi perekonomian di Indonesia. Salah satu caranya adalah sikap terbuka Soeharto yang berbanding terbalik dengan Soekarno, dimana pada masa Soeharto dirinya berupaya untuk mendatangkan investasi asing ke Indonesia hal ini dapat dilihat dengan adanya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. 1/1968. Dalam bidang moral Soeharto membuat peraturan tidak dibolehkan adanya multi tafsir terhadap penafsiran pancasila yang bersifat tunggal dan otoritatif. Selain itu sama halnya dengan Soekarno, Soeharto juga menjadikan dirinya secara individu sebagai role model manusia paling pancasilais.

Namun seiring berjalannya waktu pemerintahan Soeharto tak ubahnya seperti cerminan pemerintahan pada masa sebelumnya. Dalam bidang politik Soeharto yang merupakan wajah dari Golkar membentuk aliansi dengan ABRI dan birokrasi yang dikenal dengan ABG untuk meredam kekuatan kelompok yang tidak sejalan dengan dirinya. Sebab dari aliansi ketiganya ini menciptakan monopoli politik berbentuk oligarki dimana tidak adanya pembagian kekuasaan secara demokratis dan kekuasaan hanya diberikan kepada segelintir orang dengan melalui sistem kedekatan atau kekerabatan. Dalam bidang ekonomi tentara yang seharusnya menjaga sumber daya Negara malah menjadi kawan setia para investor yang ingin melakukan investasi, eksplorasi atau bahkan eksploitasi terhadap sumber daya alam atau keperluan bisnis lainnya. Citra buruk pemerintahan Soeharto juga diperparah dengan adanya isu KKN yang kian lama kian santang terdengar pada medio tahun 1990-an.  Pada akhirnya di tahun 1998 dengan dimotori oleh para mahasiswa, beberapa kelompok intelektualis, seniman, dan rakyat membuat Soeharto harus rela mundur dari jabatannya sebagai presiden dan digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie.

B.J. Habibie yang melanjutkan roda pemerintahan Soeharto dihadapkan pada dua pilihan yakni, melakukan perubahan secara bertahap (Reformasi) atau melakukan perubahan secara cepat dan mendasar (Revolusi). Kemudian setelah melalui berbagai macam hal pada tahun 1998 terjadilah reformasi. Golkar sebagai representasi dari rezim sebelumnya masih dapat bertahan dan dapat berkonsolidasi dengan melakukan kontestasi dalam pemilu sehingga mengakibatkan demokratisasi yang diharapkan belum sepenuhnya terjadi. Bahkan dibawah PDIP, Golkar masih meraup suara terbanyak pada pemilu 1999 kemenangan Golkar ini menjadi penentu lanjut atau tidaknya pemerintahan Habibie sebagai presiden hal ini dikarenakan banyak kader Golkar yang beranggapan bahwa Habibie bukanlah kader ideologis Golkar hubungan Golkar dan Habibie tercipta disebabkan adanya kedekatan Habibie dengan Soeharto selain itu Habibie juga dianggap melakukan banyak perubahan besar di masa transisi setelah mundurnya Soeharto, salah satunya adalah dengan mewadahi kekuatan Islam dibawah naungan ICMI. Golkar juga menjadi faktor penentu terpilihnya Gus Dur sebagai presiden pada pemilu 1999 dengan ikut bergabung dalam koalisi poros tengah yang yang mencalonkan Gus Dur sebagai presiden.

Dalam pertempuran merebutkan tahta presiden Gus Dur meraup 373 suara dan berhasil mengalahkan Megawati yang meraup 313 suara. Hasil pemilihan ini langsung termaktub dalam ketetapan MPR RI No. VII/MPR 1999. Kemenangan Gus Dur membuat kubu Megawati meradang. Partai pengusung Megawati yang merupakan partai pemenang pemilu tidak terima calon presidennya dikalahkan oleh koalisi poros tengah maka untuk dapat terlibat dalam pemerintahan di Indonesia PDIP mencalonkan Megawati sebagai wakil presiden pendamping Gus Dur. Setelah melalui proses pemilihan Megawati berhasil memenangkan kursi wakil presiden dengan meraup 396 suara dan mengalahkan Hamza Haz yang hanya meraup 284 suara.

Transisi pergantian kepemimpinan dari Soeharto-Habibie sampai Gus Dur ini merupakan sebuah polemik politik yang ada di Indonesia, kemenangan Gus Dur ini tidak melalui proses demokrasi yang semestinya hal ini dikarenakan adanya keterlibatan poros tengah dalam pemenangan Gus Dur. Pemilu 1999 tidak dapat menjadi pendobrak terhadap kungkungan kepenguasaan rezim sebelumnya. Representasi rezim orde baru masih kental terasa pada pemilu 1999 dengan kuatnya intervensi terhadap pemerintah di KPU, yang mengindikasikan kuatnya kubu pro status quo. 

Setelah mengucapkan sumpah presiden Gus Dur berpidato dengan menyatakan bahwa "Kita harus mempertahankan keutuhan Negara kita di hadapan Negara lain yang terkadang menganggap ringan perasaan dan harga diri kita. Ini bukan tugas ringan, ini tugas berat. Apalagi karena kita sedang didera oleh perbedaan paham yang besar oleh longgarnya ikatan-ikatan bangsa." Pada masa awal kepemimpinannya Gus Dur sudah diembankan tugas untuk memenuhi tuntutan reformasi dan pembangunan demokratisasi. Tugas ini membuat Gus Dur harus berhadapan dengan representasi rezim yang sudah berkuasa lebih dari 3 dekade sebelumnya. Salah satu misi Gus Dur adalah mengentaskan KKN yang sudah mendarah daging di Indonesia sejak dahulu.

Kebijakan Gus Dur untuk memecat Jusuf Kalla yang diusung Golkar dari jabatannya sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) dan Laksamana Sukardi yang diusung PDIP menyebabkan perlawanan dari dua partai besar tersebut. Kedua partai ini yang sejatinya selalu bersitegang seakan menemukan satu tujuan yang sama. Keduanya berkolaborasi dan berelaborasi di parlemen untuk menjatuhkan Gus Dur. Serangan-serangan yang dapat membunuh karakter Gus Dur mereka lancarkan seperti menginisiasi hak angket, interpelasi, sampai pembentukan panitia khusus dalam kasus Buloggate dan Bruneigate yang menganggap Gus Dur terlibat dalam penyalahgunaan Bulog dan bantuan dari Sultan Brunei. Dua kasus ini berhasil untuk mengadili Gus Dur dan bahkan sampai mampu menyeret Gus Dur ke tahap memorandum I dan II sampai impeachment. Namun semua serangan yang mereka lancarkan sampai saat ini tidak pernah terbukti bahwa ada keterlibatan Gus Dur pada dua kasus tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun