KOPASSUS "MELAWAN" ARUS
Buku : Kopassus untuk Indonesia : Profesionalisme Prajurit Kopassus, Penulis/Editor : Iwan Santosa, E.A. Natanegara, Red and White Publishing, 2021, 329 halaman.
Kesan awal sebagai aktivis tahun 90-an ABRI itu seram dan tertutup. Sangat berjarak dan mustahil warga aktivis mahasiswa dan sipil seperti saya atau  kebanyakan bisa berinteraksi dan bergaul dengan tentara. Saat pertama kali saya bertemu dengan Komandan Kopassus sekitar 1996, kami bersama pasukan Banser / Gerakan Pemuda Ansor diundang oleh Komandan Kopassus, Mayor Jenderal TNI Prabowo Subiyanto ke markas besar di Cijantung untuk bersilaturahim dan membangun dialog kebangsaan. Saat itupun mulai terasa cair, menyaksikan kehebatan para prajurit Kopassus dengan segala atraksi perang dan kemampuannya. Seiring dengan reformasi, makin terbuka interaksi dengan para petinggi milter ABRI, termasuk TNI-PORI saat itu, kesan berjarak dan seram itu makin terpupus.
Saya mengamati dan mengikuti dari dekat, TNI termasuk yang sangat progresif dan menjaga spirit reformasi, dimulai dari reformasi internalnya. Saya pernah mendapat tugas menulis jejak sejarah jelang dan proses reformasi ABRI menuju fotmat baru peran TNI Abad 21.
Isinya tentang kesaksian dan kumpulan informasi dan data tentang segala sisi peristiwa dari perspektif elit dan para pemimpin di internal ABRI/TNI ataupun pemimpin nasional. Mungkin buku Bersaksi di Tengah Badai adalah buku paling lengkap dan official mewakili kisah dan cerita di balik peran ABRI/TNI dan arus reformasi.
Saat itu, terasa ada geliat keterbukaan dan menggali kejujuran akademik dalam buku berbasis data dan riset. Ada angin segar di tuhuh TNI reformasi yang terus membuka diri dan beradaptasi.
Saat Orde Baru hingga reformasi awal, buku-buku berbau militer akan lebih banyak menampilkan sosok sentral para panglimanya. Satuan tugas khusus seperti Kostrad, Marinir, Kopassus pun itu masih sangat jarang. ABRI hingga TNI, semuanya tertutup, tabu, dan untouchable, tak tersentuh.
Beruntunglah generasi sekarang. Di era globalisasi dan digital, dimana media sosial menjadi arus utama. Berbeda saat tahun 70-an sampai 90-an, generasi yang berjarak dengan informasi dan pengetahuan tentang tentaranya sendiri. Lebih dikesankan suasana tertutup, eksklusif, serem, senjang dan jauh dari jangkauan.
Tak seperti biasanya, buku bertema militer, dikenal plat merah, terkesan kaku dan tabu. Buku formal, internal, dan terbatas. Yang ditampilkan hanya boleh sosok komandannya. Semacam biografi, sejarah dan pemikiran. Tergantung siapa pemimpinnya. Tampilannya pun dibanding buku-buku populer, tak begitu menarik. Apalagi bagi kalangan milenial, yang anti militerisme maupun publik secara luas.
Dalam suasana itulah buku "Kopassus untuk Indonesia" terlahir dari satuan unit militer yang terkesan sangat khusus dan tertutup sebelumnya menjadi sangat gaul dan friendly. Saat membuka, membaca dan membulak-balik isinya, para pembaca akan "terpesona" dengan tampilan, isi, konten dan konteks yang ditampilkan dalam rupa rangkaian redaksi, diksi, dan gambar foto yang terasa hidup dan menyimpan sejuta makna lebih dalam. Dengan sampul bernuansa merah putih bak poster Film Perang di Hollywood atau Netflix tampilannya sangat memancing mata. Di balik sampulnya terpampang kutipan Sang Komandan : "Bertempur dengan senjata itu hal biasa bagi prajurit. Tetapi, bagaimana memenangi pertempuran tanpa menumpahkan darah dan berhasil mencapai tujuan operasi adalah ilmu tertinggi".
Sebagaimana catatan terdepan saya, buku Kopassus Untuk Indonesia (KUI) laksana melawan arus. Dari kutipan tersebut, Kopassus lebih mengedepankan pendekatan damai dan kemanusiaan. Hal lainnya, tak seperti buku di sejumlah instansi pemerintah, dimana buku yang terpublikasi lebih pada menonjolkan profil pemimpin dan biografinya, tergantung siapa pemimpinnya. Buku KUI menyajikan buku dari segala sisi para pemimpin, prajurit, keluarga, dan mitra, termasuk para tentara millenial bahkan pihak yang sebelumnya dipandang musuh menjadi sahabat.