Mohon tunggu...
MUNAWAR FUAD NOEH
MUNAWAR FUAD NOEH Mohon Tunggu... Dosen - Profesional, Social Entreprenuer

Bocah asli Putera daerah Pasundan Jawa Barat, terlahir asal Cibarusah Bekasi, pegiat perubahan, seorang social entrepreneur leader dengan visi besar, misi mulia dan cita luhur utk pemuliaan antar sesama, Pendiri/Pembina GSA Foundation, Pimpinan Yayasan Pesantren Ashshulaha Cibarusah, penulis buku "Indonesia: Awakening The Giant", "Kyai di Republik Maling", serta 27 buku terpublikasi lainnya, DOSEN di President University, Konsultan Corporate Social Responsibility & Good Corporate Governance, Direktur Program Dewan Masjid Indonesia Pusat, pernah bertugas diplomasi publik di mancanegara, pernah menjadi Tim Ahli Menteri Pertambangan dan Energi, Staf Khusus Menteri Kominfo RI, Asisten Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Sekretaris PP DMI Pusat, Pengurus PB Nahdlatul Ulama, MUI Pusat, ICMI Pusat, terpilih sebagai Sekretaris Jenderal DPP KNPI, Sekretaris Jenderal PP GP Ansor, Vice President Pemuda se Asia, Koord. Persaudaraan Anak Bangsa (Pimpinan Pemuda Lintas Agama0, Ketua Umum Senat Mahasiswa FS IAIN Jakarta, Ketua Presidium Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jkt, buku terbarunya "Kyai di Panggung Pemilu : Dari Kyai Khos sampai Kyai High Cost", DR. Munawar Fuad Noeh, MA, lengkapnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

911 Tragedy, Unforgettable

11 September 2020   15:28 Diperbarui: 12 Mei 2022   12:26 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sembilan belas tahun sudah peristiwa itu terjadi. Media menyebut dengan Tragedi 911. Tanggal 11 bulan 9 Tahun 2001. Saat itu saya berusia 31 tahun. Sangat mengerikan. 

Tragedi menggemparkan di Gedung Menara kembar Word Trade Centre di pusat kota New York Amerika Serikat benar-benar nyata meskipun lewat layer kaca. Saat itu semua berita televisi dan media massa, karena belum ada media sosial atau youtube, gencar tak henti-hentinya mewartakan kisah tersebut. 

Peristiwa memilukan, mengenaskan, sedih dan bersimbah duka, membayangkan korban berjatuhan di dalam dan sekitarnya. Dari lubuk hati yang paling dalam terpanjatkan doa, doa-doa tulus bagi para korban, keluarga yang ditinggalkan, baik yang  teridentifikasi maupun yang hancur jasadnya, terpotong-potong bagian tubuhnya, juga yang tak ditemukan sama sekali.

Pandangan dan empati dunia terfokus ke satu titik dan peristiwa itu. Seiring dengan itu beredar  dengan cepat, pernyataan para pejabat penting dan pengamat, mengungkap tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi global tersebut. Bergulir banyak informasi dan spekulasi. Apapun, peristiwa tersebut menjadi tragedi kelam dalam sejarah manusia dan kemanusiaan yang tak termaafkan atas nama tata nilai dan kepentingan apapun. Kelak misteri dan rahasia akan segera terungkap, cepat atau lambat.

Dokpri
Dokpri
Peristiwa itulah yang juga bak angin kencang yang membawa saya untuk pertama kali mendapat kesempatan menjalani misi diplomasi publik sekaligus menyaksikan suasana kebatinan warga Amerika, bertemu dengan beberapa keluarga korban, dan mencoba menggali fakta, data dan kebenaran di balik peristiwa itu. 

Tepat 11 September 2020, genap satu tahun usai peristiwa tersebut, saya berada di dekat lokasi, berdiri di titik kordinat dan masih menyaksikan garis pembatas sekitar puing dan reruntuhan di area gedung menara kembar WTC, New York, Amerika Serikat. Rasanya seperti mimpi.

Jauh sebelum berkesempatan melancong ke Amerika Serikat (AS), saya telah "menciptakan" bangunan Gedung Putih dalam pikiran saya, sehingga ia menjadi semacam obsesi. Saya teringat sebuah adagium: Setiap peristiwa pada awalnya dicipta dalam pikiran (The first creation is in our mind). 

Bagi saya, AS adalah negara besar yang harus saya kunjungi, entah kapan dan dengan cara bagaimana, saya belum tahu. Yang pasti saya selalu berikhtiar mencari jalan agar obsesi saya itu terwujud. Dan tentu saja saya juga tidak lupa berdoa.

Ternyata, di suatu masa, Tuhan mendengar doa saya. Pada bulan September 2002 kaki saya benar-benar dibimbing-Nya untuk mengunjungi negeri Paman Sam itu. Jalan menuju ke sana pada mulanya tidak mudah, karena saya harus mengikuti seleksi yang sangat ketat untuk bersaing dengan para kandidat dari kawasan Asia Pasifik. 

Ada 14 jatah kursi yang diperebutkan oleh para pemuda dari seluruh kawasan tersebut. Dan saya, bersama 2 orang peserta lainnya dari Indonesia, terpilih untuk mengikuti misi perdamaian, atau lebih jauh, misi pertukaran intelek - Membela Negeri di Sarang Adikuasa Amerika Serikat. Sebuah misi diplomasi publik, dimana peran warga menjadi bagian dari multitrack diplomacy, selain pemerintah,  

Sebelumnya pun, hingga sekarang, sejak terjadi Tragedi WTC sampai adanya invasi tentara Amerika ke Irak dan adanya sejumlah isu perlakuan Amerika terhadap negara-negara Timur Tengah maupun negara berkembang, saya tetap kritis menyikapi berbagai langkah Amerika. Setelah terjadinya ledakan WTC dan mulai berlangsung invasi Amerika ke Irak, saya tak berhenti mengkritik atas kebijakan Presiden Bush terhadap negaranegara Islam dan upaya pemberantasan terorisme yang membabibuta dengan tuduhan tanpa dasar. Pernyataan saya yang paling keras dimuat di berbagai media dalam dan luar negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun