Mohon tunggu...
Muna RoidatulHanifah
Muna RoidatulHanifah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar adalah pekerjaan tanpa kata pensiun

Tidak ada manusia lemah, setiap orang kuat dengan cara masing-masing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Bercerita dengan Ombak

19 Oktober 2021   06:00 Diperbarui: 19 Oktober 2021   06:06 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. Pribadi. Pantai Sine Tulungagung.

"Ombak, apa yang laut lakukan kepadamu, sehingga kau terus tersuruk-suruk ke daratan?"

Ucap perempuan itu dengan lirih. Ia sendiri tidak berharap siapapun akan mendengarnya. Ia semakin merapatkan dekapan tangannya pada kedua lututnya. Tidak ia hiraukan semilir angin yang terasa semakin dingin, seiring matahari yang kian membenamkan diri.

Di bawah cahaya keemasan dari tatapan matahari yang penghabisan, perempuan itu menyapukan pandangannya ke seluruh sisi pantai. Tak ada satupun manusia di sana. Mungkin, tidak akan ada orang yang tertarik pada pantai yang berwarna hijau pucat dengan batu karang tidak beraturan. Debur ombaknya pun terdengar serak, terkadang seperti kelelahan, terkadang semacam rintihan.

Tetapi barangkali, pantai itulah satu-satunya tempat yang ia cintai. Pantai itu begitu murni. Berapa kalipun perempuan itu datang dengan keluhan, ombak pantai itu selalu menyambutnya dengan senang hati.

Ombak punya seribu satu kisah yang membuat perempuan itu tidak pernah bosan. Hingga pada suatu hari, ombak bercerita tentang asal-usul dirinya:

"Sepertinya, aku ini diciptakan dari gemuruh jiwa perempuan yang patah hati"

Perempuan itu mengernyit mendengarnya. Apakah saat ini ombak sedang membual? Batinnya sambil tetap mendengarkan.

"Terkadang hati mereka penuh dengan kebencian, tapi tak lama kemudian berganti menjadi sebongkah kerinduan. Kadangkala, seluruh diri mereka dipenuhi oleh rasa dendam, namun sisi lain hati mereka masih mengucurkan debar kasih dan penyesalan. Hati mereka seringkali tidak tahan untuk mengumpat atas luka yang telah begitu banyak mereka terima, tapi yang terdengar di telinga hanyalah sayup-sayup doa memohon keikhlasan dan kemuliaan.

Rasa-rasa yang berselisih datang dan pergi secepat deburan ombak di sore hari. Mereka tidak pernah bisa menerjemahkannya. Mereka hanya mampu mendekap dada itu sekuat mungkin untuk menahan sesaknya".

Perempuan itu kini menunduk. Ia mengerti maksud ombak, meski ragu telah memahaminya. Namun jujur, ia merasa sangsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun