Mohon tunggu...
AA AMARUDIN MUMTAZ
AA AMARUDIN MUMTAZ Mohon Tunggu... -

CEO JOMBANG CENTER OF ARABIC LEARNING STUDIES

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mensyariahkan Bisnis Kuliner (studi kasus konsep ideal dan alternatif permodalannya)

16 Juni 2015   03:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:01 2574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ternyata dengan model bagi hasil ini sangat memicu etos kerja dan kreativitas mereka dalam memperjuangkan agar restoran mendapatkan keuntungan yang maksimal. Jika mereka bekerja lebih giat dan mendapatkan hasil uang yang lebih banyak, secara otomatis akan menaikkan persentase bagi hasil yang didapatkan, demikian pun sebaliknya. Akibatnya semua pihak yang terlibat akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan keuntungan yang meningkat dan lebih baik setiap harinya, bukankah model seperti ini cukup bagus dan syar'i?

 

Contoh ketiga: Di belahan negeri yang lain, seperti layaknya di Singapura, ada sebuah restoran dengan tagline “Rumah makan surga dunia” di Jatinangor. Rumah makan ini menerapkan konsep makan sepuasnya, bayar seikhlasnya. Cukup menarik bukan, memberi kepercayaan dan full service kepada customer. Prinsip memudahkan orang lain termasuk dalam ranah "jalbu al-mashaalih" alias meraih kemaslahatan-kemaslahatan yang sangat direkomendasikan oleh syariat, namun siapkah kondisi masyarakat kita dengan tipe sistem ini?

 

Contoh keempat: Sebagaimana yang berlaku di beberapa kota Swiss, ternyata di beberapa tempat di Jogja juga ada warung makan yang menawarkan konsep "warung swalayan kejujuran", di mana pembelinya dipersilakan mengambil makanan sendiri dan membayar sesuai dengan tarif yang tertera pada sebuah tempat yang disediakan. Bukankah tipe warung ini mengajarkan kejujuran bagi para pelanggannya? Meskipun sang pemilik harus siap bangkrut kapan saja, setidaknya cara ini cukup memuaskan dan memudahkan para pembeli, serta mengajarkan kejujuran, amanah, dan tanggung jawab.

 

Contoh kelima: Masih di kota yang sama, terdapat sebuah warung yang menginspirasi warung-warung lainnya. Warung itu dinamakan warung sedekah, penamaan ini berdasarkan rutinitas sedekah makan gratis setiap hari Jumat, bagi faqir miskin dan kaum dhu’afa serta orang yang kehabisan bekal di jalan. Dalam kaca mata syariah, warung tersebut telah menerapkan prinsip Ta’awun -menolong sesama- dan prinsip itsar -mendahulukan kepentingan orang lain- . Idealnya memang sebuah usaha memiliki dual orientation, yaitu profit orientation dan social orientation. Sehingga manfaat dunia akhirat bisa didapatkan.

 

Contoh keenam: Sekarang kita beranjak ke Jazirah Arab, di Makkah dan Madinah -ini dia yang jarang ditemukan padanannya di Indonesia-, menjadi sebuah aturan bagi setiap pelaku usaha niaga barang dan jasa apa pun -termasuk kuliner- untuk menutup tempat usahanya ketika adzan berkumandang demi mengutamakan sholat di awal waktu dengan berjamaah daripada bisnis yang dijalankannya. Kita amati bahwa dengan cara seperti ini terlihat bahwa pemilik usaha lebih mengutamakan kepentingan yang ukhrowi abadi daripada kesenangan duniawi yang fana. Bagaimana tanggapan Anda, sudahkah cukup syariahkah?

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun