Mohon tunggu...
mulyanto
mulyanto Mohon Tunggu... Administrasi - belajar sepanjang hayat

Saya anak petani dan saya bangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keluargalah Sekolah Ramah Anak Sesungguhnya

23 Maret 2018   14:23 Diperbarui: 23 Maret 2018   14:36 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau tidak ada reformasi dunia pendidikan, maka sekolah ramah anak nyaris tidak akan pernah terealisasi di bumi ini. Sebab sekolah (satuan pendidikan formal: TK-PT) telah melakukan monopoli radikal pada pendidikan, seperti uangkapan Ivan Illich. Terlebih di Indonesia, program wajib belajar dikultuskan sebagai wajib sekolah. 

Sehingga anak-anak tidak dewasa dan sukses dari pendidikan informal di keluarga dan ligkungan. "Itu ditopang paradigma sosial, bahwa orang belajar yaitu orang sekolahan. Yang ikut ibunya ke pasar berjualan atau yang ikut ayahnya mencari ikan di laut bukan belajar," kata Prof. Daniel M. Rosyid PhD, M.RINA pada Baitul Arqam Guru & Karyawan SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya di Auditorium TMB, Jum'at, 10 Juni 2016.

Mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur itu menegaskan, anak-anak mengalami sekolah paksa seperti ucapan John Taylor Gatto -ibarat rezim penjajah yang memosisikan pribumi sebagai subjek kerja paksa. Anak-anak dipaksa belajar yang tidak sesuai bidangnya. Dipaksa menghafal yang tidak ada atau anak alami dalam kehidupan nyata. Maka yang terjadi kata Prof. Daniel, banyak sekolah hanya menjadi tempat guru mengajar bukan menjadi tempat murid belajar. "Seharusnya sekolah untuk kepentingan anak," kritiknya.

Lebih dalam, Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS ini mengatakan, sekolah telah menyita seluruh kepentingan pendidikan anak. Sekolah menjadi kanal kasta-kasta. Kalau tidak sekolah tidak diakui, dikucilkan, dan sebagainya. Padahal kata Anggota LSBO PWM Jatim itu, semestinya sekolah menjadi suatu pilihan bebas. Mengapa bersekolah? jawabannya kalau tidak hati-hati akan bahaya. Karena banyak orang berfikir sekolah adalah proses yang harus terjadi (niscaya). Padahal pandangan ini berarti telah melakukan kekerasan/pemaksaan. "Ramah anak adalah yang sesuai dengan fitrah anak," katanya.

Dengan tetap berperangai santun, Prof. Daniel mengatakan, wawasan itu digulirkan pada peserta Baitul Arqam (guru) kala itu tujuannya untuk dapat menjadi referensi guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. "Supaya jenengan (guru) dapat berinteraksi dengan murid dengan sangat baik, lebih ramah pada anak, dan melakukan 'transaksi' dengan anak harus halal tidak ada paksaan. Kurangi formalitas. Karena itu didesain untuk guru bukan untuk murid," kata pria kelahiran Klaten, 2 Juli, 55 tahun silam itu.

Dia memandang, banyak sekolah melakukan intimidatif. Kepentingan mutu mengalahkan kepentingan pendidikan yang relevan untuk anak. Dia bersaran, persaingan jangan diajarkan pada anak-anak, mereka hanya boleh diasupi tentang kerjasama. Menu yang disediakan sekolah acap keras. Seharusnya masa sekolah tingkat dasar anak dikenalkan semua aspek, baru di level-level berikutnya mulai difokuskan hingga akhirnya anak berhak memilih dunianya. "Kalaupun anak memilih bekerja setelah lulus SMA, orangtua harus mendukung," saranya.

Prof Daiel menawarkan solusi, sekolah ramah anak terjadi jika dan hanya jika keluarga dan lingkungan masyarakat punya porsi dalam pendidikan anak. Sekolah harus memperluas peran keluarga untuk pendidikan anak. Sekolah harus disetting relevan dengan anak. Artinya ilmu yang diajarkan ada gunanya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan anak hidup di dua dunia. Sekolah ramah anak lebih mengutamakan relevansi bukan mutu. "Bukan tentang mereka menghafalkan teori/rumus yang dia tidak alami sehari-hari. Ini membingungkan, berarti tidak relevan," tandanya.

Sekolah ramah anak harus diwujudkan keluarga. Beri waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Kurangi jam sekolah, perbanyak waktu untuk outting; Sanggar Seni dan Klub olahraga; Sediakan Bis sekolah agar ada kesempatan bersosial. 

Kemudian, jadikan keluarga sebagai sekolah cinta yang tak tergantikan oleh sekolah.Terlebih ibu, karena seorang ibu lebih bernilai daripada seratus kepala sekolah, kata George Palmers. Ini diperkuat wejangan Mahatma Gandhi, bahwa tidak ada sekolah sama dengan rumah dan tidak ada guru sama orang tua yang saleh. Pendidikan keluarga, lingkungan dan sekolah ini sejalan dengan ungkapan Ki Hadjar Dewantoro: Tri Sentra Pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat dan perguruan/sekolah. 

Mulyanto, Peserta Baitul Arqam

Surabaya, 10/6/2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun