Saban hari, sambil duduk bersama sobat saya di sebuat kafe kecil nan murah, kami menikmati malam Damaskus nan ramai yang disesaki oleh pemuda-pemudi Suriah dengan pakaian yang trendi dan anggun. Kami tenggelam dalam obrolan yang dibumbui kelakar-kelakar kecil. Obrolannya menyangkut hidup, perpolitikan Indonesia dan sebagainya. Waktu pun berlalu begitu derasnya hingga tatkala seorang perempuan dengan anggunnya berjalan melewati depan kami.
Seketika waktu tampak tertunda sekitar 3 atau 4 menit tatkala perempuan-perempuan berparas cantik nan anggun itu berlalu-lalang di depan kami. Ya, kami terpana dan saat itulah muncul pertanyaan-pertanyaan (yang saya kira) bernada filosofis menggelitik rasa penasaran kita. Mengapa hampir seluruh wanita mengidamkan wajahnya ditutupi balutan makeup dan dandanan yang segitu rumitnya? Nampak sekilas pertanyaan itu bodoh karena jawabannya sudah tentu menarik lawan jenis.
Namun dibalik kesederhanaan pertanyaan ini tampaknya, ada sekelebat penjelasan yang betul-betul rumit. Serumit Sartre dalam menjelaskan L'etre pour-soi (untuk-diri-sendiri) dan etre-en-soi (kepada-diri-sendiri). Sebuah analisa fenomenologis bagaimana manusia sebagai makhluk yang mengobjekkan yang lain dalam bingkai filsafat Eksistensialisme. Saya sempat tersentak kaget tatkala sobat saya berdalih, "Mereka semua ini nampak cantik, hanya saat begini aja. Tapi kalau sudah telanjang semua sama saja." Inilah jawaban yang kiranya tepat untuk pertanyaan seperti di atas. Mereka menyembunyikan identitas ke-umumannya dengan sesuatu yang menarik perhatian orang. Kalau kita cermati dalam sudut pandang eksistensialisme, problematika manusia selama ini--meminjam perkataan Sartre : Begitu orang lain muncul, seketika mereka hendak merebut dunia saya. Itulah menjadi alasan keberadaan alat kosmetik, pakaian trendi dan aksesoris kecantikan dll, untuk apa? Ya untuk menunjukkan bahwa ini adalah dunia dia dan dia eksis (ada). Adapun yang lain hanyalah nobody, obyek yang saya lihat sendiri, laksana bangku kosong, gelas, dan obyek-obyek benda mati lainnya. Kita, saya, dan anda yang membaca tulisan ini baginya hanyalah boneka-boneka temporer yang ada disekitarnya, diam, statis dan berlalu bak angin sepoi-sepoi. Kecantikannya (walaupun semu karena tertutup bedak makeup) adalah pertanda bahwa hanya dialah eksis karena kita jatuh menjadi obyek tatkala memandanginya dengan decak kagum.
Itulah hidup dalam sudut pandang eksistensialisme. Kita berlomba-lomba untuk membuktikan bahwa kita ada. hatta dengan kepintaran kita, dengan pengalaman kita, semua itu memiliki tujuan yang satu: anda Ada. bagi mereka yang bodoh, mereka berusaha tutupi dengan kecantikannya karena itu sajalahhanya itu yang mampu mengangkat dia dari neraka dunia bernama 'obyek' atau lebih tepatnya disebut Other. Begitu juga dengan mereka yang pintar, mereka tak perlu bersusah payah duduk di meja rias berjam-jam atau punya mobil sport untuk membuktikan bahwa dia ada. Cukup dengan kepintarannya, mereka mampu menjadi pusat perhatian.
Bagi Sartre, manusia itu tidak memiliki apa-apa selain pilihan-pilihan. karena itu baginya, Kebebasan manusia adalah kebebasan untuk memilih dan melalui opsi-opsi itu Si manusia (L'homme) 'menciptakan dirinya' menjadi ada. Seperti halnya si wanita yang berparas rupawan tadi memilih mepercantik wajahnya dan melengkapi tubuhnya dengan aksesoris-aksesoris kecantikan demi meraih kata tiga huruf itu yakni A-D-A.
Akhirnya pukul 12 malam pun tiba kami pulang sambil berpikir bagaimana membuktikan diri kami sebenarnya ada. Mungkin keberadaan saya hanya terletak pada akun Kompasiana saya, makanya saya menulis artikel ini sebagai ajang pembuktian bahwa saya ada dan anda (para kompasioner) hanyalah obyek-obyek saya. Hehehe...