Meminjam istilah dari Steve Tesich, seorang ahli politik dari Amerika, dewasa ini kita memasuki satu era yang bernama post-truth. Secara etimologi, post berasal dari bahasa Inggris yang berarti sesudah dan truth yang berarti kebenaran. Sepintas, post-truth dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang melampaui kebenaran. Suatu era di mana setiap waktu, kita disuguhi berita dari media-media konvensional dan saking seringnya kita mengkonsumsi berita yang disuguhkan, sampai-sampai kita gagap memilah dan memilih mana berita yang benar dan mana yang bohong—hoaks.
Sensasi dari suatu berita lebih diminati daripada kebenaran objektif dari berita tersebut. Situasi semakin runyam mengingat konteks masyarakat kita yang sedang menghadapi pandemi Covid-19 di mana berita-berita yang menyampaikan kebenaran maupun hanya menyampaikan sensasionalitas belaka bercampur aduk. Opini publik mudah termanipulasi oleh media sehingga konflik yang diakibatkan oleh ke salah pahaman rawan terjadi.
“Tercabik-cabik oleh kebenaran”—ucap Prof. Bambang Sugiharto, seorang dosen filsafat dari UNPAR dalam salah satu kuliahnya—kiranya merupakan pernyataan yang pas untuk menggambarkan kondisi masyarakat dewasa ini dalam pergulatannya menghadapi derasnya laju teknologi informasi dan komunikasi.
Masyarakat tidak lagi menyeleksi secara ketat berita yang mereka konsumsi. Gairah untuk memuaskan hasrat sensasionalitas lebih diutamakan daripada memverifikasi maupun memfalsifikasi suatu informasi. Mereka dengan begitu saja menerima apa yang tampil di depan layar.
Sebenarnya fenomena menerima dengan begitu saja suatu informasi ini bukan hal yang pertama kali terjadi dalam peradaban umat manusia. 2600 tahun yang lalu, masyarakat Yunani Kuno sangat meyakini sajak-sajak Homeros dalam bukunya yang terkenal berjudul Iliad dan Odyssey tentang dewa-dewa. Keyakinan ini, bahkan mereka terapkan dalam aspek praktis kehidupan sehari-hari.
Ketika hujan badai terjadi, lantas mereka meyakini bahwa Zeus sebagai raja para dewa sedang marah. Begitupun sebaliknya ketika hari cerah, mereka menganggap Zeus sedang ceria. Layaknya kehidupan orang Yunani yang dengan begitu saja menerima mitos-mitos, orang modern juga dengan begitu saja mengkonsumsi informasi tanpa memeriksa terlebih dahulu derajat kebenarannya; inilah post-truth itu.
Pada perkembangannya, masyarakat Yunani mengalami revolusi gaya berpikir. Lahir beberapa filsuf yang merasa tidak nyaman dengan dogmatismenya masyarakat Yunani terhadap mitos-mitos. Pada periode awal perkembangannya, dikenal beberapa orang sebagai filsuf alam yang fokus bahasannya adalah alam semesta, mereka ini berusaha menjawab pertanyaan mendasar perihal asal mula terbentuknya alam semesta dengan menggunakan akal (baca: logos) dan melepaskan diri dari mitos.
Adalah Thales filsuf dari Miletos yang berjasa dalam merevolusi gaya berpikir masyarakat Yunani. Dengan logos—akalnya—Thales berusaha menyelidiki asal mula terbentuknya alam semesta. “Air adalah anasir dasar pembentuk alam semesta” kata Thales. Pernyataannya ini merupakan terobosan luar biasa dalam upaya melepaskan diri dari belenggu mitos. Berkat jasanya ini, masyarakat Yunani mulai terprovokasi untuk mulai menggunakan akalnya dalam memahami dunia yang ditempati tanpa menerimanya begitu saja.
Garis sejarah menunjukkan bahwa pada satu waktu dan pada satu peradaban pernah terjadi suatu fenomena di mana masyarakatnya sangat mempercayai gagasan tertentu tanpa mau mempertanyakan ulang derajat kebenarannya.
Dewasa ini, dalam konteks waktu peradaban modern, hal itu kembali terjadi. Peradaban modern membutuhkan filsuf-filsuf alam baru untuk membantu masyarakat berjalan dari mitos menuju logos. Mahasiswa, sebagai civitas akademika sekaligus agent of change mengemban misi tersebut dalam menggandeng masyarakat melewati hantaman post-truth beserta mitos-mitos yang dibawanya.