Konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1976 dan terus berlanjut sampai kesepakatan damai Helsinki dimediasi pada tahun 2005.
Dalam Nota Kesepahaman itu ternyata tanpa kita sadari isi perjanjiannya menuju kepada pintu gerbang kemerdekaan bagi Aceh. Apalagi setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hal-hal yang paling menonjol dalam UUPA tersebut adalah Bendera, Lambang, Himne, Lembaga Wali Nanggroe, Batas Wilayah Aceh dan perwakilan Aceh di setiap Negara.
Hemat saya, isi-isi perjanjian tersebut merupakan langkah awal Aceh menuju suatu kemerdekaan. Oleh karena itu, saya sedikit menganalisa bagaimana Aceh akan menuju ke pintu gerbang kemerdekaan. Apakah kemerdekaan dalam ruang lingkup NKRI atau kemerdekaan berdaulat. Berikut analisanya:
Tahun 2013: Membuat Lambang, Bendera dan Himne
Dalam MoU Helsinki poin 1.1.5, berbunyi :
"Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne."
Diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pasal 246, yang berbunyi :
"(1)Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan."
Atas dasar MoU Helsinki dan UUPA itulah, Aceh dengan semangatnya membuat lambang, bendera dan himne. Memaknakan kekhususan dan keistimewaan dari daerah-daerah lain. Karena tidak dijelaskan secara tegas dalam MoU Helsinki dan UUPA terhadap lambang dan bendera yang boleh digunakan dalam kekhususan Aceh, maka Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengesahkan Qanun tentang bendera dan lambang yang mirip persis dengan Bendera dan Lambang Seperatis GAM. Sehingga timbullah polemik baik di dalam masyarakat Aceh maupun dengan Pemerintah Pusat.
Disini saya berfikir, bahwa polemik yang terjadi setelah pengesahan Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang bukanlah suatu tujuan utama bagi Pemerintah Aceh dan DPRA. Akan tetapi, hasil akhir dari Lambang dan Bendera setelah disepakati oleh Pemerintah Pusat untuk sah digunakan sebagai Bendera dan Lambang kekhususan Aceh.
Apakah nanti akan disepakati bendera bulan bintang dan lambang Aceh yang ada buraq dan singa? Itu hanya persoalan antara pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat. Yang paling penting adalah berkibarnya bendera kekhususan Aceh dan diakui oleh Pemerintah Indonesia, merupakan awal dari sebuah kemerdekaan bagi Aceh sendiri.