Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

PKS Bisa Diuntungkan, Jika Jadi Oposisi Tunggal

22 Oktober 2019   11:16 Diperbarui: 23 Oktober 2019   05:54 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: KOMPAS.com/Nabilla Tashandra

Bergabungnya Partai Gerindra dalam struktur formasi Kabinet Kerja jilid II Pak Jokowi seakan menampilkan sensi dramatis di pentas politik nasional. Renggang atau retaknya Koalisasi Adil Makmur pasca-Pilpres kemarin, disertai wacana-wacana rekonsiliasi akhirnya terjadi.

Dalam artian berbuah kesuksesan di kubu Jokowi atau keberhasilan Prabowo untuk ikut andil dalam kabinet sebagai konsekuensi transaksi politik, buah dari rekonsiliasi yang dilakukan.  

Agenda pertemuan yang dilakukan kedua tokoh nasional ini, telah rampung. Bahkan pertemuan dengan ketua-ketua umum partai pengusung Jokowi pun telah terlaksana. Seperti pertemuan Prabowo dengan ketua umum PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, Golkar mengisyaratkan ada transaksi mahal masuknya Gerindra dalam kabinet.

Hal ini memberikan anasir miring. Mengapa? Secara asumsi publik, dinamisnya politik tanah air tidak seiring dengan panas atmosfer politik pasca dan pra-Pemilu selama ini. Bahkan hangatnya bersambung pada episode pengumuman oleh KPU. Yang berujung pada sengketa Pilpres di MK kemarin.

Mobilisasi besar-besaran dengan istilah "people power" bahkan ketakutan mencekam di lain pihak melihat sensi-sensi yang dimainkan. Konflik perang saudara akibat Pilpres seakan bakal terjadi. Belum lagi perang kontens-kontes "panas" berseliweran selama ini, benar-benar membuat Pilpres 2019 sangat berbeda dari kontestasi pemilu sebelumnya.

Berbagai cara pun sepertinya dilakukan untuk menang selama ini, strategi kampanye hitam dan negatif dikembangkan tuk menarik simpati rakyat. Membuahkan hasil, yaitu terpecah/terbelah dua kelompok di masyarakat karena berbeda pilihan. "Kampret dan kecebong". Sekarang pun masih membekas.

Teka-Teki Politik bak Drama
Dengan adanya pertemuan hangat antara Megawati dengan Prabowo, Jokowi dan Prabowo, dan bertemunya Prabowo dengan ketua-ketua partai pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin, yaitu Nasdem, PKB dan Golkar seperti kesan akan merapatnya Gerindra ke koalisi pemenang pilpres jelas secara tersirat bakal terjadi.

Belum lagi adanya Demokrat, bahkan mungkin PAN juga akan ikut bergabung memeriahkan bursa menteri dalam kabinet. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pertemuan SBY dan Jokowi di waktu lalu. Seperti adanya wacana-wacana yang dibahas, seputar dinamika nasional yaitu pembahasan tentang pemerintahan atau porsi kementerian.

Melihat pertemuan para elite pra-pelantikan dan pengumuman, menjadi candaan tentang makna "kekuasan dan kepentingan". Pos-pos kementerian yang akan diumumkan. Benarkah diharapkan rakyat, apa hanya pembagian layaknya roti yang dibagikan para penguasa tanah air?

Dari berbagai pertemuan dan skenario yang ada, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak tersentuh untuk dirangkul dalam jatah kursi untuk menteri. Membuat demokrasi masih berjalan dalam hal "masih adanya oposan" sang juru kritik pemerintahan mendatang.

PKS menjadi oposisi "tunggal" nantinya, jika semua merapat ke koalisasi pengusung Jokowi. Atau bisa jadi, akan adanya keretakan di antara pengusung disebabkan kepingan-kepingan roti harus dibagikan kepada anak baru, sang rival "tiba-tiba" menjadi anak emas dalam kabinet.

Akankah, skuad pemerintahan yang akan dibangun pada periode 2019-2024 benar-benar kokoh untuk membawa bangsa ini kuat dan jaya seperti falsafah dalam budaya "gotong royong"? Kalau ingin maju bersama, ayo kita bersama.

Dalam kacamata demokrasi, ada yang mengatakan, jika rakyat kuat, negara lemah, maka tindakan anarkis dan kesewenangan akan terjadi. Bila rakyat lemah, negara kuat, maka tindakan keotoriteran pun akan berdiri. Dan bila kedua-keduanya lemah, maka bangsa dianggap gagal bahkan musnah.

Bagaimana idealnya? Negara atau pun rakyat harus kuat, ini yang mampu membuat bangsa mampu berdiri di kaki sendiri, dan berjaya.

Tapi, melihat skenario yang ada pada seakan jauh panggang dari api, apalagi dengan enggannya, untuk menjadi oposisi terkesan bahwa negara adalah milik elite parpol, bukan milik rakyat.

Kekuasan, kepentingan selalu dalam dunia politik bak drama yang apik dalam teka-teki para dalang yang memainkan aktor-aktor perwayangan.

Bergabungnya Gerindra siapakah yang diuntungkan?
Dari berbagai opini pun bermunculan dengan sudut pandang yang berbeda, di satu sisi Gerindra yang diuntungkan dan di sisi lain mungkin juga dirugikan.

Konteks ini bisa dilihat ketika Pilpres, pertarungan antara Probowo dengan Jokowi pada episode ke II ini. Ada beberapa indikator yang menjelaskan bahwa keuntungan Gerindra ketika masuk kabinet nantinya.

Pertama, Jokowi. Sebagai pemenang jelas memiliki keuntungan, pasalnya kekuatan pemerintahan akan semakin kuat, baik di eksekutif maupun legislatif. Apalagi suara parlemen Partai Gerindra yang besar memiliki pengaruh positif buat pemerintah, selain jajaran partai pengusung di Senayan yang ikut serta menyukseskan kebijakan.

Dengan masuknya basis parlemen dari Gerindra, seperti amunisi penting untuk melaju kencangnya roda-roda pemerintahan mendatang. Siapakah yang mempunyai nama, ketika pemerintahan sukses membangun? Ya presiden.

Kedua, PKS. Dari sekian banyaknya parpol yang ada, PKS yang jelas tidak mempunyai tawaran dalam kabinet. Dan satu-satu parpol yang lantang untuk menjadi oposisi, berseberangan dengan pemerintah.

Dengan berada di posisi ini jelas memiliki keuntungan buat PKS. Pasalnya mereka jadi satu-satunya oposisi, jika semua merapat ke kabinet. Prediksi Pemilu 2024 nanti seakan memiliki magnet buat melaju, khususnya mendulang suara Pemilu di masa mendatang, bahkan bisa jadi mampu untuk mencalonkan kandidat Pilpres 2024.

Anasir bisa masuk akal, bila melirik pra dan pasca-Pemilu, yang melahir istilah "kampret dan kecebong". Dua massa yang lahir akibat tensi panasnya politik. Mungkin kekecewaan mereka bisa beralih pada satu-satunya parta PKS sebagai oposisi.

Kekecewaan sepertinya ada di kubu pendukung 02, walau tidak kasat oleh mata melihat merapatnya Prabowo dan beberapa partai pengusung. Seperti membuah kekecewaan, orang yang dipuja-puja akhirnya bergabung pada orang yang sangat dibenci. Rasa dikhianati pasti mempengaruhi mindset. Berujung pada pemilu 2024, mungkin?

"ah... bapak nih, munafik, nggak komitmen dan konsisten sih. Dulu disindir kok malah merapat?"

Kedua, pendukung 01. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh para pendukung 02, mungkin masuknya rival ke dalam jagoan yang digadang-gadangkan, seperti akan membuat duri dalam daging buat pak Jokowi, hal ini yang ditakutkan. Hal sangat disesalkan.

"ah...kok lawan di ajak masuk perahu, bisa rusak nanti, agenda-agenda besar yang dicanangkan"

Akhirnya, barisan massa yang sakit hati, akibat adanya transaksi politis yang dilakukan oleh parpol yang rebutan tuk bergabung dan enggan berseberangan, secara tidak langsung bisa dimanfaat PKS dari sekarang, agar menjadi jagoan untuk bertarung di Pemilu nantinya.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun