Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hutan dalam Dilema, Kini dan Nanti

28 Agustus 2019   08:02 Diperbarui: 28 Agustus 2019   11:42 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrated By: Pixabay.Com

Dilain sisi factor pergeseran gaya hidup pun  menjadi pemantik api akan hal ini. Dalam mainset yang tertanam sing penting gaya nomor satu, masa bodoh untuk esok hari dan regenerasi berikutnya. Sehingga kepunyaan sendiri bahkan ludes tak tersisa.

Akhirnya perambahan hutan pun dilakukan. Mengapa? karena tanah yang dimiliki sudah terjual, dan untuk memiliki kepemilikan tanah pribadi, ya salah satunya merambah hutan walaupun itu dilarang oleh pemerintah dan memiliki resiko yang besar.

Ada sebuah kejadian di pengamatanku yang pernah kuamati. Dulu ada orang tua yang bisa disebut juragan tanah dikampungku. Kepemilikan lahan yang luas. Tapi, setelah orang meninggal. Kisruh harta warisan sering terjadi diantara anak yang ditinggalkan.

Semua merasa berhak akan harta yang ditinggalkan. Akibatnya, untuk mencari jalan tengah terkadang anak-anak menjual semua  tanah orang tua, lalu dibagi sama rata. Dan, tanah itupun terkadang habis tak berbekas. Habis untuk memenuhi keinginan yang sesaat dan sangat minim mengembangkan dengan pola usaha. Ada yang digunakan untuk berleha-leha, boros tak terkira, bahkan untuk gaya-gayaan di masyarakat. Supaya nampak kaya oleh orang lain.

Prihal ini menurutku juga bisa dianggap factor X dari perambahan hutan selain indicator lain. Tanah pribadi tidak punya, warisan orang tua habis, modal untuk beli tanah tidak ada, harga tanah semakin naik, usaha tak ada. Ya, rambah hutan solusinya? Agar punya tanah!

Dampak Perambahan Hutan

Jika dibandingkan kondisi iklim yang tidak stabil. Suhu panas menyengat sangat berbeda ketika dibandingkan 10 tahun kebelakang. Terasa segar dan damai. Pohon rindang dipelataran jalan telah berubah perumahan dan bangunan beton. Serasa gerah dan gersang.

Belum lagi dengan bertambahnya jumlah kendaraan dari hari ke hari semakin bertambah banyak. Memanjakan diri untuk berjalan kaki. Akibat asap yang dikeluarkan kendaraan dan suara bising dari knalpot. Membuat udara tidak segar lagi untuk dihirup. Keheningan dari irama alam seperti menjauh untuk menghilang.

Belum lagi siklus air yang tidak stabil. Jika di musim penghujan air melimpah ruah tak tertampung. Dan apabila musim panas beberapa bulan, air sangat cepat surut. Hanya batu-batu koral bermunculan dipermukaan sungai. Yang dulu tidak pernah terjadi.

Selain kondisi udara yang tidak sehat untuk kesehatan. Krisis air seakan memberikan ancaman terbaru menurutku. Akibat hutan yang telah diekploitasi secara liar. Maka, sangat besar kemungkinan suara burung-burung dipagi hari, suara orang hutan yang bersahut-sahutan. Akan menjadi langkah untuk didengar lagi besok pagi.

"Harga air akan lebih mahal dari sebongkah kekayaan? harga udara akan lebih mahal dari deretan kemewahan?"

Curup, 28 Agustus 2019

Ibra Alfaroug

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun