Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Praksis Sosial di Masa Posmodernisme, Sebuah Solusi

13 Juni 2021   20:30 Diperbarui: 13 Juni 2021   20:39 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Masa Post-Modernisme (Posmo) terkenal dengan pengsangsian segala bentuk kebenaran yang dianggap pasti. Yaitu dengan menyangsikan kebenaran-kebenaran yang pasti dengan menyangsikannnya. Seperti ketika melihat orang berwajah galak, Kita tidak mudah mnegasosiakannya dengan anggapan bahwa orang tersebut benar-benar marah.

Tetapi dengan mengatakan "barangkali" orang itu sedang sakit gigi. Barangkali ia memang sedang bermasalah. Barangkali ia benar-benar marah. Atau mungkin itu hanya bawaan alam.

Di Posmodernisme semua disangsikan sehingga muncul beberapa kemungkinan. Kemudian Kita dapat memaklumi dan memaafkannya. Lalu, membiarkannya.

Pertanyaannnya, kemudian bagaimana kebenaran yang subjektif dalam artian kebenaran yang dikembalikan kembali pada masing-masing individu dapat menjadi tolak ukur? Sedangkan dari satu individu  manusia sendiri pun kebenaran (pikiran) yang ia anut dapat berubah-ubah.

Pierre Bourdieu, seorang filsuf Prancis di bidang sosial mengatakan bahwa dalam praksis sosial, terdapat tiga elemen yang saling mempengaruhi. Yaitu Habitus, Arena, dan Kapital.

 Pertama, dalam praksis sosial pasti ada yang namanya habitus. Sederhananya, habitus merupakan pikiran-pikiran yang terjelmakan dalam perilaku sehingga kita jadi "kebiasaan". Sebagai contoh, bagi anak pesantren atau anak dari keluarga yang beragama ketat. Ia pasti akan melaksanakana salat lima waktu.

Contoh lainnya bagi sebagian perokok, wes mangan ora udud itu kaya dehidrasi. Padahal bagi yang bukan perokok atau perokok ringan rasanya ngga begitu juga. Itulah habitus.

Kedua, elemen ketiga yang berpengaruh dalam praksis sosial ialah kapital (modal). Kapital apa yang Anda miliki? Setidaknya ada empat jenis kapital yang dapat dikelompokkan yakni ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik.

Bagaimana kapital ini berpengaruh dalam dunia sosial? Tentu saja kepital ini adalah barang dagangan Anda dalam kehidupan sosial. Ketika Anda memiliki modal intelektual, maka dalam dunia sosial Anda menjadi sosok yang "kaya" meskipun miskin secara ekonomi di bidang intelektualitas.

Tapi apa iya, dengan kapital saja Anda akan sukses dalam dunia sosial? Wallahua'lam. Tentu saja lah ferguso! Berdasarkan ilmu Tuhan, Arena yang elemen ketiga inilah yang berpengaruh terhadap juga terhadap wallahua'lam tersebut.

Ketika Anda sekolah jurusan perhotelan. Sedangkan Arena Anda merupakan daerah pertanian. Tentu saja dalam praksis sosial, ilmu atau kapital yang Anda miliki sekarang ngga berguna.

Sehingga, ketiga komponen praksis sosial ini tentu harus ada dan harus saling berhubungan. Contoh aplikasinya, jika Anda ingin menjadi seorang petani maka Anda harus terbiasa mencangkul, menyiram, memanen, dan lain-lain. Modalnya, Anda harus punya bibit, tanah untuk diurusi, cangkul, sabit, dan lain-lain. Arenanya? Tentu daerah pertanian sesuai jenis tanaman yang mau dibudidayakan. Bukan bertani di daerah yang sudah susah lahan sekaligus susah air.

Meskipun demikian, ada beberapa hal yang akhirnya memaksa Kita dalam mengembangkan ketiga elemen tersebut. Diantaranya menurut Bordieu ialah dominasi sosial. Sehingga akhirnya habitus, kapital, dan arena tadi tersebut terpaksa harus berubah secara paksa, diamini maupun tidak diamini.

 Sebagai contoh, anak-anak SD atau TK, mereka bebas dalam bermimpi. Ada yang mau jadi tentara, polisi, dokter, astronot, bahkan youtuber. Ketika anak-anak memasuki tingkat menengah atas, mereka dipaksa secara sadar ataupun tidak sehingga kebenaran (mimpi dimasa kanak-kanak) harus berubah bahkan mungkin jadi kehilangan mimpi.

Mungkin sebagian Kita pernah mengalami bagaimana sulitnya memilih jurusan baik itu di SMA maupun SMK. Dalam kasus anak SMA dulu, antara memilih jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Kita dipaksa untuk masuk suatu jurusan tertentu demi tujuan kuliah atau masa depan nanti.  Padahal Kita sudah memiliki cita-cita tertentu sejak kecil sehingga akhirnya dipaksa harus mengubah habitus, kapital, dan bahkan arenanya kedepan.

Dalam kasus saya sendiri saja, ketika harus memilih jurusan antara IPA, IPS, dan Agama. Dominasi sosial cukup memaksa ketika itu. Saya yang ketika itu berdasarkan hasil psikotes cenderung pada disiplin ilmu alam. Secara sadar saya memilih jurusan agama. Dominasi sosial yang berpengaruh ketika itu ialah melihat Ayah saya yang menekuni bidang agama, maka saya merasa bertanggung jawab untuk meneruskan legacy-nya. Ditambah dengan tinggal di lingkungan pesantren, mungkin secara sadar ataupun tidak sadar ikut mendominasi terhadap keputusan saya tersebut.

Maka, kembali kepada pembahasan Praksis sosial menurut Pierre Bordieau tidak ada lagi yang namanya kebenaran subjektif (pribadi) maupun objektif (masyarakat banyak). Semua saling mempengaruhi alias relasional. Kebenaran salat yang pada asalnya manusia tidak salat, menjadi kebenaran internal/subjektif ketika Kita dibiasakan salat semenjak kecil. Itulah Internalisasi Eksternal. Merokok, yang asalnya hanya suatu kebutuhan individu, ketika mayoritas laki-laki merokok dan orang-orang gede ngerokok. Maka merokok menjadi tanda kelaki-lakian (kebenaran objektif). Itulah Eksternalisasi-Internal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun