Mohon tunggu...
Mukhamad Kurniawan
Mukhamad Kurniawan Mohon Tunggu... Buruh -

Buruh. Seluruh tulisan mewakili diri. Mari menyalakan lilin. Bukan mengutuk kegelapan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bung, Inilah Flores!

8 Mei 2016   10:43 Diperbarui: 8 Mei 2016   14:30 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Jalan menuju kampung adat Wae Rebo di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Seorang kawan berusaha meyakinkan, Pulau Flores tak kalah indah dari Pulau Bali, budaya maupun alamnya. Datang dengan otak penuh praduga: kering, terjal, dan panas, saya justru pulang dengan kesimpulan sebaliknya. Bahkan terbersit harap, ”Saya akan kembali lagi suatu saat nanti!”

Perjalanan itu sudah tiga tahun lalu. Namun, ikon-ikon Flores yang saya datangi ini masih sering melintasi pikiran: kampung adat Wae Rebo, sentra Kopi Bajawa, Riung 17 Pulau, Danau Kelimutu, dan persawahan Cancar di Manggarai. Semua meninggalkan kesan baik. Wajar kalau Lonely Planet, penerbit buku pariwisata terkemuka dunia, menempatkan Pulau Flores sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata terbaik dunia tahun 2015.

Salah satu yang berkesan adalah kampung adat Wae Rebo. Kampung di ketinggian yang oleh masyarakatnya diyakini dijaga oleh tujuh kekuatan alam. Saya datang dengan bekal pengetahuan seadanya, yakni bentuk rumah bak kerucut, kampung dengan hanya tujuh rumah, serta perbukitan yang mengelilinginya, seperti foto-foto yang banyak beredar di internet.

Ketika itu, saya tiba di Kampung Denge, kampung terdekat dengan Wae Rebo, di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, saat hari telah senja. Sang pemandu jalan, Yosef Katup (46), meminta kami bermalam di Kampung Denge. Sebab, Wae Rebo berjarak 9 Km dari Denge dan hanya bisa diakses dengan jalan kaki, rata-rata 3-4 jam perjalanan.

Pagi yang dinanti tiba. Hari itu cerah. Namun, rute ke Wae Rebo umumnya becek, habis diguyur hujan semalam. Berawal dengan jalan berbatu, menyeberangi sungai kecil, lalu menanjak melalui kebun kopi, semak belukar, dan tebing terjal. Udara sejuk, sesekali diselimuti kabut, dan air gemericik di banyak titik. Airnya bening dan kami meminumnya langsung.

Ada tiga pos peristirahatan di sepanjang jalur itu. Beruntung, saat beristirahat di Nampe Bakok (1.220 mdpl), kami bertemu Ersin, Siska, Risna, Felis, dan Tori, anak-anak usia Sekolah Dasar asal Kampung Wae Rebo. Mereka 'turun gunung' membawa karung berisi biji kopi, pisang, dan hasil bumi lain sebagai bekal sepekan belajar di Kampung Denge. Mereka adalah anak kampung adat yang bersekolah dan indekos di luar kampung.

Kampung Wae Rebo. Tahun 2012, UNESCO menetapkan Wae Rebo sebagai salah satu warisan budaya dunia.

 

Pada beberapa titik, kami bertemu turis yang jalan turun, pulang dari Wae Rebo. Sesekali kami bertegur sapa dan mengobrol kecil. Seorang turis asal Eropa mengungkap kekagumannya akan Wae Rebo dan berpesan, ”Jangan kasih mereka (warga Wae Rebo) materi. Itu akan merusak!” Kata dia, ketika warga adat mulai berorientasi pada materi, rusaklah nilai yang menjadi kekuatan dan daya tariknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun