Mohon tunggu...
Muja Hidin
Muja Hidin Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa universitas mulawarman

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ~pramoedya ananta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Negara, Agama, dan Ruang Publik

25 Desember 2020   19:55 Diperbarui: 25 Desember 2020   20:01 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jurgen habermas (imperial.ac.uk)

Pada abad ke -19 dan ke -20 tesis agama akan hilang dari ruang publik telah banyak didukung oleh pemikir-pemikir barat.lewat proses modernisasi,agama dengan sendirinya akan redup dan akan hanya menyisahkan artefak kebudayaan yang usang. 

Namun sejatinya hal tersebut tidak bisa kita katakan sebagai sebuah hal yang benar sepenuhnya karena sejatinya di dalam kondisi masyarakat postsekular hari ini yang dimana masyarakat postsekular memiliki sebuah makna suatu kondisi masyarakat modern kembali melihat nilai-nilai agama sebagai suatu yang penting, dalam proses berjalannya sejarah dunia hingga hari ini agama masih menjadi sebuah partner yang belum bisa di katakan tergantikan perannya dalm kehidupan manusia Khususnya,dalam dinamika diskursus-diskurus kehidupan negara demokrasi yang memegang prinsip-prinsip keberagaman, dan nilai-nilai pluralisme.

justru hari ini agama pun menjelama menjadi sebuah bentuk-bentuk reflektif dari tindakan-tindakan komunikatif yang di munculakan di dalam ruang-ruang diksrusus publik semacam indonesia contohnya, secara eksistensi agama menjelma menjadi sebuah entitas dan simbol yang paling melekat dari praksis kehidupan masyarakat negara indonesia hari ini.Populisme gerakan-gerakan agama menjadi sebuah hal yang wajar jika kita lihat dalam fenomena-fenomena hari ini yang di inisiator ormas-ormas yang memiliki identitas ideologis keagamaan.

Namun sejatinya hal tersebut bisa kita maklumi karena sejatinya relasi antara negara dan agama di  negara kita masih begitu memiliki keterikatan yang cukup radikal. 

Apabila bila kita mengacu pada sejarah eropa di abad pertengahan yang menilik pada tradisi gereja abad pertengahan di eropa yang menafsirkan dunia kehidupan (labenswelt) secara monopoli dengan menggunakan dogmanya sebagai acuan, hari ini kita melihat secara kondisi justru kita melihat fenomena-fenomena tersebut masih begitu kontras terjadi dimana masyarkat tradisional memendang kegiatan ritual keagamaan sebagai sesuatu entitas yang memiliki kekuatan dogma yang mengikat. 

Namun justru kekuatan dogma-dogma tersebut banyak melahirkan mispresepsi di tataran kehidupan sosial masyarakat yang berujung lahirnya tindakan-tindakan intoleransi yang juga melahirkan gerakan-gerakan klaim-klaim sosial maupun politik yang berujung terciptanya disintegrasi sosial.

Dalam hal ini bukan berarti kita harus menolak eksistensi  kehadiran agama di dalam diskursus ruang publik hari ini, kehadiran agama masih di perlukan kehadiranya dalam tataran diskursus ruang publik.hari ini agama perlu mengambil bagian dalam ruang publik untuk menyerukan gagasan keagamaannya. 

Tapi dalam koridor bukan menjadikan agama hanya sebagai atribut sosial maupun politik.tapi secara fungsi dan perannya harus juga didomestifikasi dalam koridor preferensi-preferensi berpikir yang menyediakan basis moral bagi diskurus publik untuk memainkan peran penting dalam ruang publik. Hal ini perlu di lakukan agar agama hari ini justru bukan menjadi semantik yang melahirkan gerakan-gerakan intoleran yang hanya di landaskan atau didorong kepada kepentingan golongan-golongan tertentu.

Oleh karena itu masyarakat juga di harapkan harus menimbang pada prinsip-prinsip moral sekular yang berkembang hari ini.Yang dimana dalam asal-asal usulnya tidak semuanya di adopsi dalam preferensi-preferensi dalam suatu entitas praksis bersama saja misalnya agama. Ada sebuah entitas dimana juga masyarakat harus mennghadirkan preferensi moral alternatif yang juga harus melandaskan kesadaran relegius yang secara praksis hidup bersifat integratif terhadap suatu kelompok/persekutuan yang dapat mendorong untuk membangun rasa solidaritas sosial dan sikap-sikap toleransi dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu juga konsensus dasar ideologi negara kita pancasila pun haruslah menjadi konsensus dasar yang mendorong wawasan sikap komunikatif kita dalam menjalankan aktivitas berbangsa dan bernegara karena sejatinya pancasila pun ikut mendasari praksis komunikasi dalam ruang publik di negara kita indonesia.oleh karena itu dalam melihat fenomena-fenomena hari ini khususnya masalah yg berkaitan dengan bentuk-bentuk perilaku intoleransi maka dalam hal ini masyarakat di harapkan mampu berpikir secara bijak dan tetap memegang teguh prinsip-prinsip rasa persatuan dan kebhinekaan guna menjaga keutuhan bangsa dan negeri ini .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun