Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Yaqut Cholil Qoumas Menjadi Menteri Agama, Mimpi Buruk bagi Kaum Radikal?

23 Desember 2020   21:20 Diperbarui: 24 Desember 2020   06:55 1236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Agama dan Ketua Umum PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas/NU.or.id

Perombakan kabinet kecil-kecilan alias terbatas resmi dilakukan oleh Presden Jokowi. Pengumuman siapa saja yang didapuk menjadi menteri digelar lewat konferensi pers oleh Presiden Jokowi didampingi Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin pada sore hari kemarin (22/12/2020) di istana negara. 

Ada enam orang menteri yang diangkat dan rencananya akan dilantik hari ini. Mereka adalah Menteri Sosial Tri Rismaharini (menggantikan Juliari Batubara), Menteri KKP Whisnu Sakti Trenggono (menggantikan Edhy Prabowo), dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (menggantikan Terawan Agus Putranto).

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S. Uno (menggantikan Wishnutama Kusubandio), Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (menggantikan Fachrul Razi), dan Menteri Perdagangan M. Lutfi (menggantikan Agus Suparmanto).

Semua sosok menteri baru itu tentu saja menarik untuk diudar. Tapi saya lebih tertarik dan hanya fokus melihat sosok Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.

Alasannya, bertumpu pada latar belakang, peran, dan rekam jejak Gus Yaqut (panggilan akrab Yaqut Cholil Qoumas) sebagai Ketua Umum PP GP Ansor dan NU itu sendiri dalam pusaran fenomena polarisasi dan terbelahnya kehidupan berbangsa akibat kepentingan politik, politisasi agama (baca: politik identitas), dan tren konflik sosial efek pemahaman agama (baca: moderat versus radikal).

Fenomena seperti itu paling kentara mencuat dan memanas terutama pada saat dua kali momen kontestasi pilpres (2014 dan 2019) dan pilkada DKI Jakarta (2017) yang lalu. Hatta, lahir "perseteruan sengit cebong versus kampret". 

Dan, anehnya, walaupun suara nyaring "cebong versus kampret" sudah nyaris tak terdengar dan mulai meredup, bahkan hampir menghilang, namun sisa-sisanya masih ada seakan-akan bermetamorfosis dalam wajah lain, tapi pola pikir dan perilakunya serupa sampai hari ini. 

Takpeduli dengan realitas bahwa aktor-aktor politik yang dulu dibela mati-matian oleh mereka, kini sudah berpelukan mesra dan bersetubuh dalam satu ranjang pemerintahan. Tapi tetap saja, atau mungkin sudah menjadi takdirnya, Presiden Jokowi masih menjadi sasaran tembak perisakan dan kebencian mereka.

Diawali kisah masuknya Prabowo Subianto dan koleganya di Partai Gerindra, Edhy Prabowo (sayangnya ia terjerat kasus korupsi benur) dalam pemerintahan Jokowi. 

Lalu, menyusul Sandiaga S. Uno menjadi pembantu Presiden Jokowi di Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif mengikuti jejak Ketua Umum Partai Gerindra dan pasangannya di pilpres 2019 itu. Genaplah sudah.

Berbeda kisah antara Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (BTP, atau lebih dikenal tetap Ahok) yang sudah sama-sama anteng dan nyaman pada posisi masing-masing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun