Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Suksesi Setengah Hati

1 Oktober 2020   14:53 Diperbarui: 2 Oktober 2020   12:56 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menghadiri rapat di KPU Pusat membahas pelaksanaan pilkada serentak 2020 (KOMPAS.COM/ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA)

Dulu di zaman orde baru, bicara suksesi adalah tabu dan pamali. Orangnya langsung dituduh melakukan subversi.

Suskesi ala pilkada tetap jadi. Berebut tahta sudah menjadi hobi. Tak peduli pandemi. Suara publik minta ditunda pun tidak didengar sama sekali. 

Tenang saja, protokol kesehatan adalah prioritas untuk dipatuhi. Disiplin warga untuk mentaati protokol kesehatan tetap menjadi fokus yang harus dibenahi. Calon kepala daerah peserta pilkada yang melanggar ini, opsinya adalah harus siap didiskualifikasi. Apakah itu janji atau hanya basa-basi?

"Kita buktikan takada klaster baru pandemi dari kontestasi pilkada ini." tegas Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian wanti-wanti, atau sekadar menghibur diri. Ironi. Benar-benar memaksakan diri dan takada sense of crisis sama sekali.

Ini alam demokrasi. Atas nama rakyat, mereka membela dan berdiri. Walaupun tidak jelas rakyat mana yang mereka bela dan beli. Padahal selama ini, rakyat sekadar dikadali dan diakali. 

Begitu mendapat kursi, dengan cengengesan dan tengil, mereka seakan-akan amnesia, lalu lali dan lupa diri. Janji tinggallah janji. Mereka sering memungkiri. Mestinya bukti bukan sekadar janji. Itu yang kerap terjadi. Menguap begitu saja secara alami. Tak terpuji dan keji.

Mereka tahu tidak sedikit kepala daerah yang sudah jadi. Berhasil merebut kursi. Ayat atau isyarat memperkaya diri sendiri. Lantas mendekam di balik jeruji. Dibui karena korupsi. 

Tapi itu dicap salah sendiri tidak berhati-hati. Lagi tidak hoki. Makanya, mesti pandai-pandai adaptasi dan bawa diri. Mencari alibi. Jalani lobi-lobi dan bagi-bagi upeti. Suap sana, suap sini. Supaya selamat dari kejaran polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Begitu aturan main yang harus diikuti. Kalau tidak, bisa-bisa mati berdiri.

Sejenak bertamasya ke masa lalu sejarah negeri ini. Dulu di zaman orde baru, bicara suksesi adalah tabu dan pamali. Orangnya langsung dituduh melakukan subversi. Makar. Mendirikan negara dalam negara itu sendiri. Pasti, ditangkap aparat keamanan dan diinterogasi.

Berujung petaka dan diisolasi dari sanak saudara atau famili. Ngeri. Karena tak sedikit orang diculik dan tak segan-segan ditembak mati. Banyak orang hilang begitu saja, yang sampai sekarang takada informasi, misteri, dan tak pernah kembali. Seperti Widji Thukul, aktivis itu dan piawai menulis puisi.

Saya ingat, Amien Rais, salah seorang pelaku dan saksi sejarah runtuhnya rezim orde baru kala itu yang berani "mendobrak" kebekuan wacana politik dan mengawali. Lantang suarakan wacana suksesi. "Mengapa bicara suksesi kok tabu, pamali dan dituduh subversi?" teriak Amien Rais saat itu berapi-api. 

Maaf, terlepas dari persepsi bahwa Amien Rais dulu agak berbeda dan berubah dengan Amien Rais kini. Kini sikap politiknya mendadak lebih condong ke "kanan", eksklusif, dan anomali. Pemikirannya kadang irasional, sesekali bercampur klenik, dan cenderung berhalusinasi. Kerap melakukan politisasi agama, mudah sekali mencaci maki, dan jauh dari rendah hati. 

Tetapi bagaimanapun Amien Rais tetap memiliki kontribusi dalam mengangkat wacana suksesi ini, sebagai proses pergantian kepemimpinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah alami dan wajar di negara yang menganut sistem demokrasi. 

Artinya, pergantian kepemimpinan nasional harus lewat proses regenerasi dan direncanakan jauh-jauh hari sesuai konstitusi. Di sini Amien Rais, seorang tokoh politik saat itu yang berani memulai.

Undang-undang Dasar 1945 bukanlah kitab suci yang tidak bisa direvisi. Amandemen UUD 1945 adalah mendesak dan harus dilakukan demi kepentingan masa depan bangsa dan negeri ini. Jangan sampai terulang lagi, penguasa seumur hidup yang takmungkin digonta-ganti, kecuali mati.

Saat Amien Rais Ketua MPR RI, adalah sejarah kali pertama dalam perjalanan sejarah bangsa ini, amandemen UUD 1945 terjadi.

Beberapa pasal dalam UUD 1945 itu dibongkar pasang dan dikuliti. Salah satunya, adalah pemilihan umum langsung setiap lima tahun sekali dan pembatasan dua periode masa kerja presiden/wakil presiden, dan kepala daerah yang boleh ikut pemilu lagi.

Inilah sekarang yang terjadi pada bangsa ini. Karena konstitusinya seperti itu, pilkada serentak 2020 tetap digelar di tengah pandemi, walaupun tampaknya setengah hati. Sangsi, akankah lahir klaster baru pandemi dari kontestasi pilkada serentak, 09 Desember 2020 nanti? Semoga saja takada yang terpapar pandemi. Aman, tidak anarkis, damai dan menyejukkan hati.

Dan inilah pilihan politik yang dianggap terbaik untuk Bangsa Indonesia hari ini. Entah esok hari, atau lusa nanti, perlukah konstitusi yang kini ada dirombak dan dibongkar pasang lagi? Masihkah harus ada reformasi lagi?

Mari kita serahkan kepada anggota dewan yang terhormat sebagai representasi wakil-wakil rakyat yang duduk manis dan santai di kursi empuk gedung MPR/DPR RI, sekalipun agak pesimis di hati. Karena sangsi masih adakah hati nurani mereka untuk membela rakyat yang diwakilinya di antero negeri kita tercinta ini? Tabik. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun