The real antidote to epidemic is not segregation, but rather cooperation. | Yuval Noah Harari is a historian, philosopher and the bestselling author of Sapiens, Homo Deus and 21 Lessons for the 21st Century, Time, 15 Maret 2020
Hari demi hari suasananya semakin mencekam. Angka suspek pandemi Covid-19 terus merangkak naik. Dan tak ada tanda-tanda angkanya menurun.Â
Hampir semua orang berdiam diri, menetap di tempat tinggal masing-masing. Mengurung diri di rumah. Berlindung dari terpaan virus yang terus menggerus. Sambil kemudian kerjanya sekadar menghitung angka-angka korban.
Bergegas ke dalam, menghindari berada di luar rumah. Jika keluar pun, tak lepas dari masker. Manusia tampaknya dipaksa menjadi makhluk bermasker atau bertopeng.
Apakah virus corona ini seakan-akan ingin menunjukkan bahwa inilah sebenarnya wajah kemanusiaan kita selama ini: hidup cenderung berlindung di balik masker atau topeng yang menutupi wajah kita yang asli, dan menampakkan wajah-wajah palsu kemanusiaan kita, yang tak lebih sekadar badut?
Ini membuat semua terkesima. Dunia terbelalak, dan tak menyangka apa yang tengah terjadi oleh sebab yang tak kasat mata, tapi nyata di depan mata.
Tak terkecuali kita, Indonesia. Semua elemen masyarakat kita bergerak melawan serangan bertubi-tubi dari makhluk bernama virus corona ini.
Tidakkah kita menyisakan rasa sedikit saja dari sikap apresiasi dan penghargaan kita terhadap apa yang sudah dilakukan pemerintah dan semua orang tanpa membeda-bedakan posisi dan status apa pun kita, selama kita mampu bergerak, dan kerja sama menghadapi pandemi global ini?
Pemerintah sudah bekerja sekuat tenaga siang malam. Pun masyarakat bekerja dan berpartisipasi dalam proses pencegahan dan penanganan semua suspek yang terpapar virus yang terus mengancam.
Bukalah mata kita, apa yang sudah dilakukan saudara-saudara kita, baik itu secara perorangan, maupun kelompok, melakukan aktivitas kemanusiaan dengan menggalang donasi, tak perlu memandang apakah itu kecil ataupun besar jumlahnya.Â