Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Framing "Agama Adalah Musuh Pancasila", Sekadar Cara Media Meramu Isu

13 Februari 2020   11:59 Diperbarui: 13 Februari 2020   20:34 2644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Yudian Wahyudi saat pelantikannya di Istana Negara (05/02/2020) | tempo.co


Banyak jalan menuju Roma (bukan Bang Haji). Banyak jalan pula laku media menjual berita supaya laku.

Ini soal cara atau trik media menyajikan berita untuk layak santap, dan banyak yang suka.

Salah satu trik media untuk itu adalah melakukan framing. Dalam dunia jurnalistik atau pers, framing adalah sesuatu yang halal. Biasa dilakukan.

Framing bukan jalan sesat. Hanya seakan-akan jalan sesat dan cara yang nggak benar. Karena publik (pembaca) seakan-akan dibawa kepada kepalsuan, kebohongan, atau hoaks. Hakikatnya, tidak.

Framing satu cara media atau pers membingkai berita, dan menyajikan informasi dengan upaya menonjolkan dan menampilkan subtansi dan esensinya agar lebih menarik. Boleh, karena framing itu tidak menyajikan berita bohong.

Ibarat seorang koki atau seorang chef, tugasnya adalah bagaimana meramu dan menyajikan masakan agar enak, menarik, dan nikmat disantap. Dan yang lebih penting, adalah disukai banyak orang. Kalau bisa sebanyak-banyak. Itu cara media.

Isu yang cenderung kontroversial dan polemik, mengiris-iris emosi publik adalah bahan dan sumber yang sengaja dicari dan dikejar untuk nanti pada gilirannya diramu, digoreng-goreng, dan disajikan ke publik, penikmat sajian informasi.

Bahkan, semakin banyak yang suka, tinggi ratingnya, dan viewer-nya bererot atau membeludak, itu berarti menunjukkan keberhasilan media dalam menyajikan berita. Itulah pentingnya framing. Itulah yang dilakukan media.

Intinya, framing itu nggak "berbohong". Publik saja yang demen makan mentah-mentah suapan media, tanpa mau mengolahnya. 

Framing, sekali lagi, itu tidak "berbohong". Framing itu cuma: menyeleksi informasi, menonjolkan aspek tertentu, memilih kata, diksi, bunyi, gambar, foto, dan biasanya menyembunyikan, dan menyelipkan (meniadakan) informasi utuh dalam konten.

Secara umum tujuan framing ini ada dua, untuk memenuhi kepentingan politis tertentu, atau untuk menambah jumlah viewers atau pembaca. Atau malah kedua-duanya.

Media itu ibarat menjual mainan yang bagian-bagiannya dijual terpisah, begitu. Kita sendiri yang harus memverifikasi, memahami dengan baik, dan melengkapinya. Sehingga utuh dan tidak memungut sepotong-sepotong.

Tentang ini, jadi ingat cerita yang diulang-ulang Kiai saya, KH. Ahmad Rifa'i Arief, Allahu yarham, setiap kali acara "Khutbatul 'Arsy", acara pekan perkenalan santri di awal proses mondok. Konon, sebenarnya cerita ini dikisahkan juga oleh Jalaluddin Rumi dalam The Elephant in The Dark House, yang dimuat dalam Matsnawi.

Kiai saya bercerita tentang informasi tiga orang buta tentang gambaran gajah yang sebenarnya. Yang satu pegang kupingnya, satunya pegang belalainya, dan yang lainnya pegang kaki gajah.

Akhirnya, apa yang terjadi ketika ditanya tentang gajah. Pengetahuannya tentu sebatas apa yang mereka pegang. Padahal gajah yang sesungguhnya tidak seperti yang mereka gambarkan itu.

Jadi informasinya tidak utuh, menjadi tidak valid, dan cenderung keliru -- kalau bisa dibilang, informasi yang mereka dapatkan dan yakini menjadi salah dan menyesatkan. Begitu kira-kira kalau kita mengakses informasi tidak utuh, dan sepotong-sepotong.

Kalau baca utuh isu "Agama adalah musuh Pancasila" dan klarifikasi narasumber isu itu bergulir, Prof. Yudian Wahyudi, Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu, sebenarnya nggak begitu masalah. Clear.

Penjelasan dan klarifikasi dari yang bersangkutan tentang maksud dari pernyataannya itu mestinya sudah selesai dan tak perlu digoreng-goreng, apalagi diperdebatkan.

Apa yang keliru atau salah sebenarnya dari frase "Agama adalah musuh Pancasila" ketika dijelaskan secara gamblang apa yang dimaksud dengan "agama" disitu?

"Agama" di situ maksudnya adalah cara beragama, pemahaman agama, atau corak merefleksikan teks atau ajaran agama yang keliru dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, misalnya, intoleransi, diskriminasi, melanggar SARA, dan seterusnya. 

Bukankah kalau refleksi beragama seperti itu, adalah bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, atau dengan frase yang sederhana dan pendek, "adalah musuh Pancasila" atau suatu tindakan yang ditentang dan dilawan oleh Pancasila?

Jadi bukan "agama" dalam artian formal dan suci yang diakui oleh negara, dan wajib dianut oleh warga negara, sebagai sebuah keyakinan dan identitas. Aktualisasi dari sila pertama Pancasila itu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan, bukan itu yang dimaksud. Sehingga muncul pemahaman anti agama dan mau menghapus agama. Mustahil amat. Amat lebay.

Sekarang isu ini sudah kadung viral, di-framing dan di-blow up oleh hampir semua media, baik daring maupun luring, jadi kalau begini siapa yang salah, ayo?

Yang salah adalah yang sotoy, yang sampai ribut-ribut dan nggak bisa jaga cangkemnya gara-gara berita.

Apalagi sampai baperan cuma karena baru baca tanpa verifikasi. Tidak mau menerima klarifikasi dan penjelasan apa maksud yang sesungguhnya dengan pernyataan itu.

Akibatnya kenapa justru semakin meradang dan melebarkan berpikir dan sikap yang salah paham. Menjauh dari kearifan dan kecerdasan membaca informasi.

Bukan begitu, para awak media yang sudah makan asam garam di dunia jurnalistik dan media?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun