Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berhaji Bukan Sekadar Berburu Huruf "H"

6 Februari 2020   10:47 Diperbarui: 6 Februari 2020   20:41 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Haji adalah perjalanan berkunjung ke Masjid Al-Haram Mekkah untuk menunaikan serangkaian ibadah (ritual) yang telah ditentukan secara syari'i (Hukum Islam). Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya. 

Mampu, dalam hal ini, berarti mampu dalam berbagai segi, terutama jasmani, ruhani (mental), ekonomi juga keamanan. Wajib sekali seumur hidup, berarti tidak wajib hukumnya berkali-kali menunaikan ibadah haji. Selebihnya boleh-boleh saja atau hukumnya mubah (sunah). 

Makanya kebijakan Kementerian Agama,  yaitu memprioritaskan bagi yang belum pernah berangkat haji dan sudah lanjut usia daripada yang sudah berhaji adalah kebijakan yang tepat, dan perlu mendapat apresiasi.

Apalagi kenyataan sampai hari ini daftar tunggu calon jemaah haji reguler kita membutuhkan waktu yang lumayan panjang atau lama sekali, dan bahkan tidak saja belasan tapi tampaknya sudah mencapai puluhan tahun.

Fenomena berangkat menunaikan ibadah haji dengan menggunakan paspor palsu, munculnya kasus biro perjalanan haji dan umrah yang tidak resmi (tidak terdaftar di Kementerian Agama), atau fiktif menipu jemaah, antrean panjang daftar tunggu calon jemaah haji hingga belasan bahkan puluhan tahun lamanya, dan maraknya masyarakat berangkat umrah adalah bukti antusiasme keberagamaan umat Islam dalam hal menunaikan rukun Islam yang kelima ini.

Diharapkan fenomena ini, yaitu antusiasme dan semangat keberagamaan umat Islam ini bukan sekadar menebar pesona atau sebatas status sosial, ingin disebut "Haji" atau menambah satu huruf "H" di depan namanya yang cenderung menjadi (ta)kabur itu.

Sampai ada yang berpikir, tidak afdol, kalau huruf "H" itu tidak dicantumkan, ditulis atau disebut di depan namanya setelah menunaikan ibadah haji. 

Apalagi kalau ada yang sampai protes, dan keukeuh minta dicantumkan. Mendapatkan huruf "H" itu susah payah, biayanya mahal dan jaraknya jauh lagi. Makanya, wajar saja. 

Kalau begitu, untuk apa berdo'a dan mendekatkan diri pada Tuhan saja harus bersusah payah dan jauh-jauh pergi ke Mekkah? Apa kalau kita berdo'a di sini, memangnya Tuhan tidak mendengar do'a kita? Lalu untuk apa berhaji?

Pertanyaan-pertanyaan nakal yang ditulis Komarudin Hidayat dalam bukunya "Wisdom of Life" ini adalah menarik untuk direnungkan.

Atau coba simak kritik Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri) dalam salah satu bait puisinya, "Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri. Mencari pengalaman spiritual dan matrial. Membuang uang kecil dan dosa besar. Lalu pulang membawa label suci asli made in Saudi, Haji."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun