Ini sekadar memotret realitas. Berhembus kabar tentang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok digadang-gadang menjadi direktur salah satu BUMN.
Berawal dari Ahok menghadap Menteri BUMN, Erick Thohir, di kantornya. Konon banyak hal yang dibahas berkaitan dengan kinerja Kementerian BUMN ke depan.Â
Di sela-sela pertemuan itulah terselip kemungkinan-kemungkinan Ahok mengambil peran dan bergabung dalam Kementerian yang mengurusi perusahaan-perusahaan besar dan strategis milik negara ini.
Dari situ, publik merespons. Terbelah. Ada yang suka dan ada yang tidak suka tentu saja. Kelompok yang suka bisa dipastikan yang selama ini notabene adalah Ahokers dan yang kadung mencintainya. Tak peduli siapa dan bagaimana Ahok, dulu, sekarang, dan seterusnya, tetap Ahok. Ahok adalah Ahok. Namanya juga cinta. Tahu sendirilah.
Mereka gegap gempita dan sorak sorai menyambutnya, "Yes, Ahok is back!" Mencairlah kerinduan  mereka pada Ahok. Begitu kira-kira sekilas respons Ahokers dan kelompok ini.
Benarkah ada kerinduan, atau justru sebaliknya, kebencian pada Ahok?Â
Bagi kelompok yang tidak suka dan bersikap biasa-biasa saja atas fenomena Ahok selama ini, bahwa kembalinya Ahok di panggung politik tanah air adalah wajar tapi bukan tanpa syarat dan pengecualian. Mengkritisi itu perlu dan normal. Atau bisa jadi, muncul kebencian dan keberatan atas rencana kembalinya Ahok?
Artinya, bahwa di samping selama ini Ahok memang kerap kontroversial dan bukan tidak bermasalah, tetapi juga ada indikasi dan isyarat yang mengarah pada aura realitas kurang sedap dipandang mata.Â
Membentur kesadaran, kejernihan berpikir dan kebeningan mata hati (hati nurani) yang paling dalam.Â
Mengangkangi kelayakan dan kepatutan. Menerabas dan mempermainkan tata aturan (hukum) dan tata nilai (etika).Â
Ada keganjilan dan pemaksaan kehendak, ruang dan waktu. Mungkin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan di depan mata. Seakan bersikap aji mumpung. Kalau tidak sekarang, dan tidak diambil, kapan lagi. Bisa-bisa gigit jari.