Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Abah, Guru Membaca Saya

14 September 2019   06:00 Diperbarui: 18 September 2019   22:51 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa buku baru koleksi saya yang baru-baru ini atau kali terakhir saya beli. / sumber: foto pribadi

Abah (begitu saya memanggil Ayah saya), adalah alumnus salah satu pondok pesantren terkenal di zamannya. Pondok Pesantren Al-Khairiyah Citangkil Cilegon Banten.

Konon, pondok pesantren ini sudah bisa dibilang pondok pesantren modern -- atau kalau boleh dibilang adalah semi modern. Karena salah satu ciri dari pondok pesantren modern adalah menerapkan model kelasikal dalam sistem pendidikannya, dan memasukkan pelajaran non-agama dalam pengajarannya.

Tapi walaupun begitu, uniknya, Pondok Pesantren Al-Khairiyah ini tetap menerapkan sistem pendidikan ala pesantren tradisional/salafiyah. 

Mendaras kitab-kitab kuning (kitab-kitab klasik berbahasa Arab yang notabene khazanah intelektual Islam [ulama] terdahulu) tetap dipertahankan dan diutamakan di pesantren ini. 

Makanya, pondok pesantren ini terbilang semi modern atau mungkin tepatnya, pesantren modern, sekaligus masih (menganut) tradisional. Balance, sebenarnya.

Bagaimana nasib Pondok Pesantren Al-Khairiyah sekarang? Bagaimana kecenderungan sikap dan paham keberagamaan Abah saya itu? Lantas, bagaimana pula Abah saya menularkan minat membaca pada saya?

Sekilas Perguruan Islam Al-Khairiyah, Dulu dan Sekarang

Pondok Pesantren Al-Khairiyah Citangkil berdiri pada tahun 1916 di kampung Citangkil. Desa Warnasari, Kecamatan Pulo Merak, Kabupaten Serang, Provinsi Jawa Barat (sekarang Provinsi Banten), oleh KH. Syam'un bin H. Alwiyan.

KH. Syam'un lahir 05 April 1894 di kampung Beji Bojonegara, dari pasangan H. Alwiyan dan Hj. Siti Hajar. Tidak diketahui asal usul leluhur ayahnya, Alwiyan yang konon meninggal di Sumatera sewaktu KH. Syam'un masih usia balita.

Sementara ibunya adalah anak seorang tokoh yang sangat terkenal, pemimpin perjuangan Geger Cilegon 1888, KH. Wasid yang wafat di medan tempur di sebuah kampung di daerah Sumur, Banten Selatan pada tanggal 29 Juli 1888.

Genealogi KH. Syam'un dari garis ibunya konon tersambung sampai Adipati Srenggene, yang diyakini sebagai seorang tangan kanan Sultan Maulana Hasanuddin, yang mendirikan kesultanan Banten pada tahun 1926.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun