Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perlukah Rekonsiliasi Politik?

11 Juli 2019   00:23 Diperbarui: 13 Agustus 2019   00:27 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: tribunnews.com

Kontestasi pemilu 2019 sudah usai. Putusan MK menolak tuntutan seluruhnya kubu Prabowo-Sandi adalah final dan mengikat. KPU sudah menetapkan secara resmi Joko Widodo dan KH. Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019 - 2024.

Masyarakat di akar rumput sudah berangsur relatif tenang dibanding sebelum putusan MK. Dunia maya juga tidak terlalu gaduh lagi. Banjir hoaks agak mulai surut, walaupun belum total. Masih ada satu dua muncul. Tapi tidak separah yang sudah-sudah dan sulit dibendung selama musim pilpres 2019 kemarin. Hoaks begitu deras mengalir setiap saat sepanjang hari.

Narasi tuduhan kecurangan dalam pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pun nyaris tak terdengar. Karena tampaknya semuanya sudah menyadari bahwa memang putusan MK tentang sengketa pemilu 2019 sudah final dan mengikat. 

Sesuai kaidah hukum (ushul fikih) yang menyatakan, "Hukmul hakim ilzamun yarfa'ul khilaf." Artinya, keputusan hakim adalah mengikat dan menghilangkan perbedaan atau sengketa.

Namun akhir-akhir ini muncul wacana rekonsiliasi lewat pentingnya bertemu antara Jokowi dan Prabowo. Tujuannya untuk meredam konflik dan polarisasi yang terjadi di masyarakat setelah pilpres.

Sebagai etika politik, sepatutnya dari pihak Jokowi sebagai pemenang pilpres 2019 yang menginisiasi upaya rekonsiliasi lewat komunikasi dan pertemuannya dengan Prabowo. 

Dari situ makanya tersiar kabar ada upaya beberapa tokoh dari kubu Jokowi menjajaki dan menjembatani ke arah itu. Dari kabar Luhut Binsar Panjaitan, Jusuf Kalla, sampai Budi Gunawan sudah menghubungi, bahkan ketemu dengan Prabowo. Tapi tetap saja sampai detik ini pertemuan Jokowi dengan Prabowo belum kesampaian. Bahkan ada indikasi pertemuan itu mandeg.

Apalagi kemudian Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara BPN Prabowo - Sandi mengusulkan babwa rekonsiliasi itu bisa dilakukan, asal Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI) segera dipulangkan dari Arab Saudi ke Tanah Air, termasuk meminta tokoh-tokoh dari kubu Prabowo yang terjerat hukum agar dibebaskan. Mau rekonsiliasi tapi ada syaratnya. Menganggap rekonsiliasi adalah barter dan politik transaksional.

Rekonsiliasi bersyarat dan barter yang diusulkan Dahnil tentu saja ditentang oleh kubu Jokowi. Sebut saja misalnya, Moeldoko dan Puan Maharani sempat menyatakan bahwa rekonsiliasi bersyarat dan barter dengan memulangkan Rizieq Shihab tidak mungkin dilakukan.

"Kalau Rizieq Shibab mau pulang, pulang saja sendiri. Kenapa harus kita? Pergi-pergi sendiri. Ya pulang, pulang saja sendiri. Dia kan tidak pernah diusir dari sini," ujar Moeldoko dan Puan Maharani.

Sementara Dahnil tetap saja keukeuh dengan tawaran barter pemulangan Rizieq Shihab. Walaupun, jelas tawarannya sulit diterima oleh kubu Jokowi. 

Bahkan, menurut Dahnil, Rizieq Shihab sulit pulang ke tanah air, karena ada portal atau faktor "x" (invisible hand) yang sangat kuat menghalangi. Tidak dijelaskan secara rinci oleh Dahnil apa portal atau faktor "x" itu.

Berkaitan dengan hal ini, bersyukur, Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel menjelaskan, bahwa Rizieq Shihab tidak ada hubungannya dengan upaya rekonsiliasi politik itu. Kepulangan Rizieq Shibab ke tanah air itu sudah lama merupakan keinginannya jauh sebelum wacana rekonsiliasi muncul, bahkan sebelum pemilu 2019 digelar.

Lantas apakah benar ada halangan, atau meminjam istilah Dahnil, portal yang membuat Rizieq Shihab tak kunjung pulang sampai detik ini?

Agus Maftuh Abegebriel membenarkan bahwa pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab memiliki halangan untuk kembali ke Tanah Air.

Agus menjelaskan Rizieq diwajibkan membayar denda terkait aturan overstay atau tinggal di suatu tempat lebih lama dari masa yang diizinkan.

"Iya (ada halangan). Bayar denda overstay. Saudi menyebutnya gharamah," ujar Agus saat dihubungi Kompas.com, Rabu, (10/07/2019). 

"Satu orang (dendanya) Rp 110 juta. Kalau lima orang, ya tinggal kalikan saja," kata Agus.

Walhasil, rekonsiliasi tampaknya menemui jalan buntu, dan urung terlaksana. Lagian rekonsiliasi kok bersyarat dengan sistem barter seperti itu. 

Mestimya rekonsiiliasi itu berjalan apa adanya. Tulus untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu demi kemaslahatan bangsa dan negara. 

Sejatinya rekonsiliasi itu tanpa pamrih dan embel-embel yang dapat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi kalau begitu, lebih baik tidak usah ada rekonsiliasi. Nggak perlu. "Gitu aja, kok repot!" meminjam kata-kata Gus Dur.

Pemikiran tidak perlu adanya rekonsiliasi juga diamini oleh Fadli Zon, politisi Partai Gerindra. Menurutnya, penggunaan istilah rekonsiliasi sendiri itu adalah salah. Dalam demokrasi, pilpres itu kontestasi, bukan perang. Perbedaan pilihan adalah hal biasa.

Bahkan kalau terus digembor-digemborkan, terus dipertajam wacana tentang harus ada dan perlunya rekonsiliasi, maka seolah-olah terjadi perpecahan yang membahayakan negeri ini. 

Padahal tidak ada. Beda pilihan, beda pendapat adalah wajar dalam kehidupan demokrasi. Apa yang terjadi ini justru sebagai pendewasaan dalam proses demokratisasi bernegara dan berbangsa.

Ada benarnya apa yang disampaikan Fadi Zon. Dan bagi kubu Jokowi, sebagai pemenang pilpres, yang terpenting, adalah fokus melanjutkan kepemimpinan dan pembangunan Indonesia lima tahun ke depan. 

Buat apa kubu Jokowi seakan-akan harus memaksakan diri dan memelas untuk rujuk atau rekonsiliasi. 

Apalagi yang mau diajak rekonsiliasi atau rujuknya saja ogah-ogahan dan setengah hati, pakai syarat dan barter segala. Syarat yang tidak penting dan tidak jelas pula. Lebih-lebih adalah naif dan tidak elegan, kalau rekonsiliasi dimaknai dengan politik barter dan transaksional seperti itu. Atau Sekadar bagi-bagi kue dan kursi kekuasaan, tidak lebih. Untuk apa, kalau begitu?[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun