Ketika Syekh Siti Jenar didatangi para prajurit kerajaan yang akan menangkapnya, terjadi dialog.Â
Para prajurit bertanya, "Apakah Syekh Siti Jenar ada?" Syech Siti Jenar menjawab, "Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada adalah Tuhan!"
Sontak para prajurit kaget. Lalu bertanya lagi, "Kalau begitu, apakah Tuhan ada?" Dijawab, "Tuhan tidak ada, yang ada adalah Syekh Siti Jenar!"
Para Prajurit bertanya lagi, "Apakah Tuhan dan Syekh Siti Jenar ada?" Syekh Siti Jenar menjawab, "Tuhan dan Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada adalah Syekh Siti Jenar dan Tuhan."Â
Kemudian, para prajurit lagi-lagi bertanya, "Apakah Tuhan dan Syekh Siti Jenar, Syekh Siti Jenar dan..."
"Cukup, cukup!" potong Syekh Siti Jenar. "Pulanglah kalian!" Para prajurit pulang dengan membawa tanya dan bingung
Demikian bagian dialog yang saya ingat dan ikut terlibat bermain pada pementasan teater kampus saat "nyantri" di IAIN Ciputat (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), berjudul "Syekh Siti Jenar" tahun 1989 silam.
Dialog ini melukiskan ekspresi paham keagamaan yang bersifat eksoterik dan esoterik. Yang pertama bersifat ritualistik (fiqih oriented) dan terakhir bersifat sufistik (sufism oriented).
Eksoterik lebih berorientasi pada formalitas, kulit luarnya, dan kasat mata, yang dalam dialog di atas diwakili oleh para prajurit yang merepresentasikan masyarakat umum (mainstream).Â
Esoterik lebih berorientasi pada subtansi, isi, dan tersirat, yang direpresentasikan oleh Syekh Siti Jenar yang berpikir out of the box dan cenderung melenceng dari mainstream.Â
Memahami pemikiran dan pesan yang tersirat seperti yang tergambar dalam dialog Syekh Siti Jenar, atau tokoh sufi yang lain seperti Al-hallaj, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, diperlukan keterampilan dan kemampuan pemahaman tersendiri sebagai alat. Perlu kecerdasan penuh. Tidak sembarang orang bisa memahami dan menafsirkannya.