Mohon tunggu...
Mas Kip
Mas Kip Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya orang biasa yang sedang belajar

Membaca, Melihat, Mendengar, Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sinau Bareng : Mari Belajar Kontekstualisasi Diri

5 Juni 2017   03:59 Diperbarui: 5 Juni 2017   04:30 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Catatan Sinau Bareng Satuhati, Waspodo!

 “Sesakit apapun hatimu, setertindas apapun dirimu, jangan tonjol-tonjolkan kehebatan, kesaktian, kebenaran, dan kebesaran Islam”

Itulah kalimat kutipan di awal artikel yang saya baca, sebuah artikel yang memberikan pembelajaran diri tentang hidup, kebersamaan tanpa mempermasalahkan latar belakang sosial, agama, suku etc. Sebuah artikel yang di tulis oleh Helmi Mustofa di sebuah situs web yang menarik untuk saya ikuti, dan inilah isi dari artikel tersebut, yang bertajuk Sinau Bareng.

Sinau Bareng yang bergulir di Kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema) pada 2 Juni 2017. Untuk apa Sinau Bareng? Untuk melatih kita tetap mampu melihat yang bukan wadag. Apakah itu menyangkut diri, masyarakat, maupun kehidupan bernegara. Sebab kondisi yang kompleks saat ini hanya mampu ditembus dengan kacamata nonmaterial.

Sesudah dua bulan terakhir ini Mbah Nun(Cak Nun) menawarkan ajakan sikap dan penempatan diri : “kebenaranmu ada di dapur, yang kau bawa ke luar adalah kasih sayang, kebenaran adalah bekalmu untuk berbuat baik kepada dan di tengah masyarakat, kini moral yang sama mendapatkan pemetaan lebih lengkap”.

Kutipan di awal tulisan yang disampaikan Mbah Nun di Polinema itu, adalah salah satu pendalaman pemetaan manajemen kebenaran dalam diri itu. Detailnya seperti ini. Kita perlu belajar maqamat atau belajar kontekstualisasi diri dan tidak boleh hanya punya ekspresi dan eksistensi diri. Kita tak boleh salah tempat, salah maqam, dan salah treatment.

Contoh aktualnya, melalui logika kontekstualisasi diri (mungkin bahasa sederhananya: ngepaske posisi diri di tengah banyak orang), Mbah Nun kurang sependapat dengan jargon dalam memeringati Hari Lahir Pancasila “Saya Indonesia, Saya Pancasila.” Kita perlu menjaga perasaan yang bukan atau selain ‘Saya’, karena seakan yang selain ‘Saya’ tidak termasuk Indonesia dan Pancasila. Alternatifnya, saran Mbah Nun, yang lebih merengkuh adalah “Kita Indonesia, Kita Pancasila.” Itu sebabnya, pesan Mbah Nun, seorang presiden tidak boleh mengucap saya, melainkan “kita” : Kita Indonesia, Kita Pancasila.

Demikianlah satu pelajaran penting dari Lapangan Polinema malam itu. Sebuah kelanjutan konstan dari kesungguhan Mbah Nun dalam mendidik publik untuk menata letak kebenaran di dalam diri. Kita jadi tahu bahwa kita benar-benar perlu belajar dalam hal penerimaan bukan penolakan atau penyingkiran pada tingkat subtil.

Kebutuhan itu dirasakan mendesak pada saat keadaan bangsa kita ini dapat digambarkan sebagai berada pada posisi tidak semestinya. Posisi dan koordinat yang diambil banyak pihak dalam berbagai persoalan kerap diambil kurang tepat. Pun Kuda-kuda juga tidak kokoh. Kaki salah berpijak. Tangan salah bergerak. Apa yang seharusnya tidak kita masukkan dalam pikiran pun justru dimasukkan. Demikian keadaan itu dilukiskan Mbah Nun.

Penulis dan ribuan saudara-saudara muda yang memenuhi lapangan Polinema usai shalat taraweh ini belum-belum sudah mendapatkan tambahan “jimat” dari Mbah Nun ketika Sinau Bareng belum lagi genap 20 menit. Mereka, saudara-saudara muda itu, memang pantas mendapatkan hal itu. Pasalnya, dalam keyakinan dan pandangan mata Mbah Nun yang kian gamblang, mereka adalah generasi Al-Maidah 54. Generasi yang didatangkan Allah menggantikan generasi yang saat ini sedang “murtad”. Generasi baru itu digambarkan Allah sebagai dicintai oleh Allah dan kemudian mereka mencintai Allah. Mereka berada dalam gelombang orientasi diri melakukan kesalehan. Mereka memiliki satu ciri dari apa yang disebut sebagai generasi milenial.

Mbah Nun sadar, mereka semua menanggung beban masa depan yang tak ringan sebagai individu, kelompok, maupun warga negara atau rakyat. Meskipun sedari awal sudah dikatakan Mbah Nun bahwa Indonesia sedang diberi ujian sangat besar karena memang “kelasnya adalah bangsa besar” dan nanti akan naik kelas. “Kalau ada yang bermusuhan, kalian jangan ikut memusuhi,” pesan Mbah Nun kepada mereka agar mereka tak mudah terseret situasi yang merupakan salah satu ujian itu.

JANGAN JUGA PANCASILA DIDEWAKAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun