"Sex adalah persoalan paling penting dalam dekadensi moral pelajar hari ini, tapi ia terus-menerus dihindari, padahal keberadaannya tak dapat dipungkiri"
Apa yang membuat seks tabu? Padahal kita tahu bahwa semua manusia perlu, bila kita mengintip sejarah. Maka, mungkin etika timurlah yang membuat seks ditabukan manusia, dengan segala doktrin agama mengenai surga, manusia mulai mengasingkan diri dari hasrat seksualnya.
Hari ini, seks yang interioritasnya tabu, mulai terekspos kembali pada ruang publik, ia ada namun disamarkan keberadaannya. Akibatnya, seks menjadi hal yang amat diagungkan esensinya, yang pada hakikatnya seks merupakan fitrah lumrah umat manusia pada awalnya.
Siapa yang ditabukan dan dimabukkan?
Bila ditanya, siapakah yang paling ditabukan sekaligus dimabukkan oleh seks hari ini? Maka saya rasa tak sedikit orang akan menjawab bahwa pelajar-lah orangnya. Karena pelajar pada masa pubertasnya tentu akan sangat butuh seks tuk memenuhi hasratnya, doktrin agama mengajarkan bahwa manusia haruslah menghindari hawa nafsu, seks salah satunya. Karena manusia paling kuat adalah ia yang dapat menahan hawa nafsunya.
Ajaran mengenai penahanan hawa nafsu tersebut selalu menjadi doktrin berkepanjangan yang mulai usang dan ditinggalkan. Doktrin tersebut senantiasa digumamkan oleh publik kepada subjek (individu), yang konsekuensi nya akan terjadi suatu abjeksi (perasingan) dalam diri subjek, belum lagi pergeseran kultur yang membuat subjek meradikalisasi tindakannya agar lepas dari yang simbolik, dengan seks subjek itu menemukan kembali eksistensinya.
Saya beri contoh, sekolah adalah suatu tatanan simbolik, yang salah satu subjeknya adalah pelajar, di dalamnya ada proses dialektis (dialog) yang membuat relasi (hubungan) antara pelajar dan sekolah. Sekolah menganggap pelajar memiliki kekososngan, lalu ia berusaha mengisi kekosongan yang ia abstraksasi dalam bentuk ajaran. Jika pelajar adalah subjek yang ideal, maka ia akan menuruti substansi (aturan) sekolah agar ia patuh pada tatanan hierarkis.
Permasalahannya, tiap pelajar memiliki kesadaran diri, yang mana jika ia terus menaati substansi dari sekolah (seperti peraturan dll), maka ia makin terabjeksi (terasingkan) dari eksistensinya. Pelajar sebagai subjek akhirnya ingin menegasi (menentang) tatanan simbolik yaitu sekolah, sehingga ia melakukan negativitas pada tatanan simbolik, dengan memprotoli semua peraturannya dan menemukan sendiri esensi dari dirinya.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa doktrin sekolah kepada pelajar sudah tidak lagi mempan, karena sekolah secara praktis telah merebut eksistensi dari para pelajar, sehingga pelajar masuk pada kekosongan, lalu kesadarannya ingin lepas dari hal demikian.
Fantasi skandal dan normatifitas moral