Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Cinta Datangnya dari Hati? : Sebuah Pandangan Estetika dan Neurofilosofi

22 September 2020   14:04 Diperbarui: 22 September 2020   23:21 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Ilustrasi Pribadi

Darimana datangnya cinta itu? Apakah dari mata turun ke hati? Atau dari kata menjadi kita? Atau ada lagi?. Sekarang saya akan berusaha menyajikan sajian tulisan perihal perasaan yang menjanjikan,  agar pembaca tak merasa dikecewakan, karena saya berusaha memberi kepastian, bukan hanya sekedar harapan, apalagi janji bualan. 

 Saya tak tau kapan asal-usul hipotesa yang menyatakan bahwa cinta datangnya dari hati, tapi mungkin saya koordinatkan pada Pak Aristotulus, eh Aristoteles maaf. Aristoteles mengatakan bahwa segala sifat, rasa dan perilaku manusia berasal dari hati. Namun hipotesa tersebut dibantah oleh Pak Plato, beliau mengatakan bahwa otak adalah pusat dari segala proses mental. 

 Lalu yang benar yang mana?, saya akan sedikit memasuki kajian biologis, tepatnya pada fungsi hati. Secara biologis, fungsi hati adalah menetralisir racun, mengatur sirkulasi hormon dan semacamnya. Disini hipotesa Pak Aristoteles dibantah, bahwa tak ada fungsi hati (secara biologis) adalah untuk memproduksi apa yang disebut cinta. 

 Sekarang kita akan memasuki dimensi neurofilosofi yang memproduksi neurosains, apa itu neurophilosopy? Ia adalah suatu persoalan filsafat klasik tentang pikiran. Yang mengacu pada penemuan neurosaintifik (sains saraf), disini saya akan berupaya membongkar pasang perihal asal-usul cinta tersebut menggunakan neurophilosopy dan estetika. 

 Patricia Chruchland, seorang filsuf yang berfokus pada kajian neurofilosofi, menjelaskan bahwasanya segala proses mental dan pikiran manusia berasal dari otak (seperti hipotesa Pak Plato, namun lebih saintifik). Didasarkan pada penelitian yang disebut split-brain study, sebuah penelitian yang muncul ketika seorang penderita epilepsi dibelah otaknya, lalu tenyata kedua otak tersebut memiliki kesadaran masing-masing, artinya kesadaran berasal dari otak. 

 Lalu apakah cinta juga datangnya dari otak?, Simon LeVay, seorang neurolog Britania Raya, menemukan apa yang disebut hipotalamus saat ditinggal meninggal oleh kekasihnya. Hipotalamus adalah bagian terdalam dari otak yang berfungsi sebagai penerima rangsangan manusia dan memprosesnya, mulai dari Chat WA, Pelukan, Diberi senyuman dan sebagainya. 

Sumber : Google
Sumber : Google
Juga memproduksi hormon oksitosin yang berguna sebagai penghilang rasa cemas dan stres ketika bertemu, bahasa estetis-nya yakni hormon penghilang rindu. 

 Nah, dari sini mungkin kita akan lebih percaya pada sains yang mengatakan bahwa cinta datangnya dari otak, bukan dari hati. Namun, coba kita renungkan, ketika kita mengungkapkan perasaan kepada seseorang menggunakan ucapan "Semenjak pertamakali aku melihatmu, otakku berdebar sedemikian kencang, kurasa engkau adalah pujaan otakku". Aneh nggak? Tentunya tidak estetis banget yah kan wkwkw. 

 Disinilah saya akan mengkorelasikan neurofilosofi dengan estetika dalam pandangannya akan cinta. Telah kita ketahui bersama bahwa estetika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai seni dan keindahan, semisal bagaimana bisa manusia menyukai keindahan, lalu bagaimana bisa suatu desain dari sebuah ruangan atau poster memengaruhi mood kita dan sebagainya. 

 Dalam sastra, tepatnya pada puisi, seringkali dibicarakan bahwa cinta datangnya memang dari hati, karena letak estetisnya disana, yakni pada proposisi kata cinta yang dikorelasikan dengan hati. Ketika kita menyambung tali estetis dengan tali saintis, maka tentunya keduannya akan bertolak belakang kan? Tapi tunggu dulu bossku, saya dapat mengaku sebagai manusia yang menyukai keduannya, maka dari itu akan saya sambungkan di paragraf berikutnya. 

 Ketika kita melihat, mendengar atau menemukan sesuatu yang estetis dalam kehidupan kita, maka secara neurotis, hipotalamus kita akan memproduksi hormon oksitosin yang menyebabkan kecemasan kita hilang dan kebahagiaan kita datang. Namun, sudah saya bahas di paragraf sebelumnya bahwa tak estetis sekali kalau mengatakan cinta itu datangnya dari otak, dan apabila kita melakukannya, maka hormon kortisol (lawan dari hormon oksitosin) kita akan bereaksi, dan itu tak baik untuk kehidupan kita. 

 Disini saya simpulkan bahwa hipotesa cinta datangnya dari hati adalah suatu dinamika estetika, yang selama ini membuat manusia merasa bahagia, jadi secara logis, kita tak apa menggunakan hipotesa tersebut, namun bagaimana dengan pandangan sains-neurotis? Tentunya pandangan itu akan digunakan ketika memproduksi suatu penelitian, bukan kebahagiaan. 

Terimakasih telah membaca, share bila bermanfaat, menerima kritik dan saran di kolom komentar. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun