Mohon tunggu...
Muhammad L Aldila
Muhammad L Aldila Mohon Tunggu... Pengacara - Meester in de Rechten

merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Tukang komentar isu-isu hukum, politik dan kebijakan publik. Tulisan saya lainnya bisa akses ke https://muhmdaldi.weebly.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jalan Darah Soeharto, Sang Bakal Calon Pahlawan Nasional

31 Mei 2016   21:45 Diperbarui: 31 Mei 2016   21:51 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Muhammad L Aldila

Menulis tentang Soeharto artinya juga menulis tentang basis kroni-kroni nya. Maka izinkan saya menulis tentang organisasi yang 'penuh tipu muslihat' ala soeharto terlebih dahulu. Partai berlambang beringin alias partai Golkar merupakan partai warisan dari kandung rahim Orde Baru. Pada jaman jayanya partai ini selalu dimenangkan dengan 'menghalalkan' segala cara apapun. Sekali lagi, apapun. Sila tanya orang terdekat anda yang pernah hidup pada zaman orde baru. Bahwa pada setiap pemilu partai ini selalu menang diatas 70 persen. Sehingga pemilu pun identik dengan formalitas-konstitusional belaka. Tugas dari partai ini sederhana. Adalah memberikan label halal atas semua tindakan Soeharto mulai dari 'pembangunan', swasembada pangan, penggundulan hutan, pembantaian, hingga korupsinya.

Sekarang, partai ini berusaha menyegarkan diri. Melalui musyawarah nasional luar biasa yang telah berlangsung di bali pada 16 Mei 2016. Meski kita semua tahu bahwa pemilihan ketua umum ini tidak lebih dari kongkalikong diantara para kingkong. Tidak ada makan siang yang gratis kurang lebih sama seperti tidak ada partai politik yang tidak bernafsu untuk berkuasa. Itulah sebab Ade Komarudin -si calon ketum merangkap ketua DPR-- secara nyata menghibahkan 'sumbangan' receh sebesar 1 Milyar kepada partai. Melalui mahar tersebut, anda bisa melihat bahwa kelakuan partai yang mengaku suara rakyat ini memang sama busuknya dengan partai yang mempropagandakan mars partainya di semua jaringan media yang dimiliki.

Maka tidak heran jika partai ini bermanuver dari oposisi menjadi koalisi. Menjilat ludah sendiri demi kongkalikong jabatan menteri. Menurutnya, melalui munaslub partai berharap bisa mengubah wajah yang sudah usang meski sayangnya kita semua tahu bahwa itu tidak lebih dari omong kosong. Kini, partai diasuh oleh 'anak muda' (pemuda dalam pengertian Orde Baru adalah mereka yang berusia diatas 50 tahun) yang baru terpilih melalui munaslub. Tentu anak ini juga mewariskan mental daripada Orde Baru dan ideologi daripada Soeharto. Yakni Setya Novanto.

Anak muda ini juga cukup terkenal karena 'licinnya' dalam menghadapi persoalan hukum dan etika. Sedikitnya terdapat 4 persoalan hukum dan etika yang masih segar di ingatan kita. (1) drama kasus papa minta saham; dan (2) lawatan ke kampanye donald trump; dimana kedua persoalan etika ini membuat kita akrab pada istilah 'yang mulia' di sidang MKD (baca: Mahkamah Konco Dewe) yang sama sekali tidak layak disebut persidangan. Jika mahasiswa biasa mempraktekkan 'Moot Court' atau peradilan semu, saya rasa sidang MKD ini lebih tepat disebut peradilan palsu. Dua kasus ini memang berhasil membuat publik semakin geram, pada kasus donald trump misalnya. Kekesalan publik meradang ketika jalannya persidangan secara tiba-tiba 'tertutup untuk publik' dan memuncak ketika tiba-tiba majelis memutus Setya Novanto dan Fadli Zon hanya diberi teguran ringan.

Tidak lama setelah itu, publik kembali dikejutkan oleh pelaporan Setya Novanto oleh Sudirman Said kepada MKD atas kasus terkuaknya rekaman obrolan para mafioso kelas kakap antara Setya Novanto, pengusaha minyak Riza Chalid dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoedin. Dugaan mengarah kepada pelanggaran kode etik dan dugaan perbuatan melawan hukum dalam unsur pemufakatan jahat. Pelanggaran etik ditangani oleh MKD sementara dugaan pidana pemufakatan jahat ditangani oleh Kejaksaan Agung. Pada sidang MKD, lagi-lagi publik dibuat meradang. Meski 17 Anggota MKD menjatuhkan vonis bersalah, Novanto nyatanya sudah terlebih dahulu mengundurkan diri persis beberapa saat sebelum putusan sidang MKD akan diketuk. Harapan publik akhirnya difokuskan pada penyelidikan oleh Kejagung. Akan tetapi, fakta berbicara lain. Skenario menghilangnya Riza Chalid dengan apik dimainkan sehingga kejagung tidak dapat meminta keterangan dari mafioso tersebut.

Dosa Novanto yang lain juga masih ada, sebut saja nama Novanto yang acap disebut-sebut pada (3) kasus-kasus KPK lain seperti kasus (a) suap PON Riau; (b) suap Akil Mochtar; dan (c) korupsi e-KTP. Ketiga kasus tersebut mengaitkan nama Novanto pada Dakwaan hingga tuntutan JPU. Di dalam kasus suap PON Riau, KPK mendalami keterlibatan Novanto dengan menggeledah ruangan Setya di lantai 12 Gedung DPR. Penggeledahan itu adalah upaya mengembangkan kasus yang sudah menjerat mantan Gubernur Riau Rusli Zainal, yang juga politikus Partai Golkar. Kemudian pada kasus Akil Mochtar, Novanto pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait sengketa pemilihan kepala daerah yang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Kasus ini menjerat mantan Ketua MK Akil Mochtar yang juga mantan politikus Partai Golkar. Sementara itu, dalam kasus terakhir, Novanto disebut-sebut terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menyebut Novanto dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai pengendali proyek e-KTP. Nazaruddin menuding Novanto membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Novanto juga disebut mengutak-atik perencanaan dan anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut [1].

Kemudian dosa terakhir Novanto yang bagi saya semakin membuktikan busuknya anggota dewan ialah (4) titip absen. Pada 23 februari 2016, Ada keanehan dalam absensi paripurna anggota DPR yang mengagendakan pengesahan UU Tabungan perumahan rakyat. Khususnya soal kehadiran Setya Novanto. Tanda tangan Ketua Fraksi Golkar itu ada di daftar hadir, padahal dia sedang berada ratusan ratusan kilometer dari Jakarta, tepatnya di Sulawesi Utara [2]. Saya sendiri masih ingat ketika saya masih bertugas di komisi 3 DPR, entah sudah berapa kali saya lihat fenomena seperti ini. Datang di menit sebelum rapat dimulai, tanda tangan. Kemudian pergi meninggalkan rapat. Alasannya macam-macam. Entah mau ikut rapat Baleg (badan legislasi), rapat Bamus (Badan Musyawarah), hingga mau ikut rapat fraksi. Padahal tidak jarang saya menemukan fakta bahwa sebagian dari mereka-mereka ini keluar untuk hal-hal yang tidak penting. Seperti mengantuk hingga malas mengikuti rapat. Sebab tindakan memalukan tersebut sebenarnya sudah dilatih sejak tingkat mahasiswa. Malas mengikuti perkuliahan karena materi tidak asyik, atau bolos karena malas, dan segudang alasan tidak penting lainnya. Atas fakta yang demikian, sila anda muak kepada perilaku para anggota dewan yang mengkorup kehadiran demi keuntuntungan pribadi. Sebab, sejak mahasiswa saja sudah berperilaku seperti koruptor. Ah, tapi saya sih lebih muak dengan kelakuan si Setya Novanto dan Aburizal Bakrie. Karena saya yakin bahwa sejak dalam pikiran, mereka sebenarnya identik dengan kelakuan Soeharto sang diktaktor-konstitusional indonesia yang dihamba oleh sebagian rakyat melalui meme “penak jamanku tho?”.

Gelar Pahlawan

Pasca didaulat sebagai ketua umum setelah melewati dramatisasi-memuakkan partai golkar, rekomendasi munaslub keluar. Seperti yang sudah-sudah. Rekomendasi menancapkan satu poin yang membekas ingatan, yakni memberi gelar pahlawan kepada Soeharto. Sang 'Mark Zuckeberg'nya Golkar.

Adalah Aburizal Bakrie atau ARB, yang memantik kembali ruang ingatan pada munaslub golkar lalu. Secara terang-terangan, politisi yang identik dengan lumpur dan media TV 'memang beda' itu menyuarakan kembali keinginannya untuk mengangkat soeharto menjadi pahlawan nasional. Untaian kalimat itu menimbulkan pro dan kontra (lagi). Mereka yang pro berpendapat bahwa soeharto telah banyak memberikan sumbangsih nyata kepada bangsa. Swasembada pangan, perekonomian rakyat yang tertata, kehidupan sosial yang terjamin, dsb. Mereka yang pro juga menyatakan kangen dengan kepemimpinan soeharto yang aman, tertib, guyub, rukun, dsb, dsb. Maka dari itulah, dirasa pantas jika soeharto menyandang gelar pahlawan. Sepintas, boleh saja alasan tersebut masuk akal. Akan tetapi maaf. Sebagai generasi 90 yang menjadi korban kedigdayaan rekayasa sejarah. Saya dengan lantang menyuarakan pendapat saya yang kontra atas penyematan gelar pahlawan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun