Mohon tunggu...
Muhammad L Aldila
Muhammad L Aldila Mohon Tunggu... Pengacara - Meester in de Rechten

merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Tukang komentar isu-isu hukum, politik dan kebijakan publik. Tulisan saya lainnya bisa akses ke https://muhmdaldi.weebly.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Mengapa Kita Cenderung Suka dengan Sesuatu yang Ilegal?

29 Desember 2019   16:46 Diperbarui: 30 Desember 2019   11:17 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi streaming film di laptop. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Pergantian tahun 2019 ke 2020 diwarnai membirunya para penonton setia indoXXI, Bioskopkeren, Layarkaca21 dsbg, dsbg. Sebab Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Johnny G. Plate mengatakan bahwa pihaknya akan bertindak tegas pada pengelola situs streaming film ilegal yang membandel terhitung sejak Januari 2020. 

Diberitakan melalui Kompas.com, dalam kurun waktu beberapa tahun kebelakang Kominfo telah memblokir sebanyak lebih dari 1.000 situs streaming video illegal alias bajakan. 

Menkominfo juga menyatakan akan membawa pelaku yang masih melanggar untuk dilakukan penindakan hukum. Keseriusan Kominfo dalam mengejar dan menutup situs a quo disebut-sebut merupakan bentuk komitmen terhadap pemberantasan terhadap pelangaran Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Sementara itu, pengelola situs streaming seperti indoXXI sudah menyatakan kesiapsediaannya 'pamit' dari jagat penyedia situs streaming illegal Indonesia. Dalam pengumuman resmi yang ditayangkan berulang di setiap pergantian halaman, indoXXI menyatakan akan tutup dengan rentetan kalimat puitis. 

Situs ini menyatakan akan berhenti beroperasi mulai 1 Januari 2020. Hal tersebut yang membuat netizen membiru. Tidak siap dan tidak rela kehilangan situs illegal yang populer menyajikan film terkini.

Menurut survei yang dilakukan YouGov untuk Coalition Against Privacy (CAP) dari Asia Video Industry Association sebagaimana dikutip oleh Kompas.com, sebanyak 63% netizen Indonesia memang gemar mengakses situs streaming atau torrent illegal untuk menikmati konten premium tanpa membayar biaya langganan. Sementara situs IndoXXI menjadi aplikasi paling populer yang banyak digunakan.

Sementara diwartakan oleh BBC Indonesia laporan dari lembaga pemantau yang berkantor di Hong Kong, Political and Economic Risk Consultancy atau PERC bahwa data pada tahun 2010 menunjukkan Indonesia adalah pelanggar hak kekayaan intelektual atau HKI yang terburuk di Asia. 

PERC menanyai 1.285 manajer ekspatriat dalam rentang waktu Juni sampai pertengahan Agustus 2010. Hasil survei itu menempatkan Indonesia pada angka 8,5 dari angka maksimum 10 yang berarti menduduki posisi teratas di antara 11 negara lain di kawasan. 

Di bawah Indonesia ada Vietnam (8,4), Cina (7,9), Filipina (6,8), India (6,5), Thailand (6,1) dan Malaysia (5,8). Singapura adalah negara terbaik di Asia dalam hal penghormatan terhadap intelectual property rights (IPR) --hak kekayaan intelektual.

Ini semua kemudian menjadi benang merah yang menarik untuk dibahas. Mengapa bisa ketergantungan netizen kepada situs streaming illegal tetap besar sementara penyedia streaming legal banyak bertebaran di negeri. 

Misal sebut saja Hooq, Maxstream, Viu, GoPlay dlsb menjadi nama-nama situs/aplikasi yang menyediakan film secara legal. Lantas, ada apa dengan netizen Indonesia? Mengapa kesadaran akan sesuatu yang salah (melanggar hukum) di negeri ini begitu rendah?

Sumber: liputan6.com
Sumber: liputan6.com
Paradigma

Mengutip definisi KBBI, paradigma adalah kerangka berpikir. Sementara menyitir Wikipedia, paradigma adalah cara pandang terhadap diri dan lingkungannya yang mempengaruhi cara berpikir (kognitif), bersikat (afektif), dan bertingkah laku (konatif).

Ia juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual. Sementara, dalam bahasa sederhana saya sih menyebutnya sebagai: cara kita berpikir sekaligus cara kita memandang sesuatu.

"Kalo bisa gratisan, kenapa harus bayar sih?"
"Yaelah, ribet banget sih. Mereka juga udah kaya keleus. Gapapa lah sekali-kali nonton gratisan"
"Eh, lo punya film [nama film] gak? Minta dong. Gue belum download nih. Besok tanggal merah soalnya"

Sebagai generasi milenial, saya sangat-sangat meyakini kalimat-kalimat percakapan di atas atau yang sejenisnya sering mampir dalam keseharian kita. Bisa datang dari keluarga, sahabat, kekasih atau.. bahkan kita sendiri. Saat masa jahiliah --belum kenal dunia hukum, saya juga pernah demikian. Menjadi 'pengedar' film illegal. Jadi kita impas kok.

Namun, yang menarik untuk disimak adalah betapa sebenarnya cara kita berpikir itu telah tersistemasi sedemikian rupa sedari kecil untuk menerima kenyataan bahwa sesuatu yang illegal seperti menonton film bajakan itu menjadi suatu hal yang lumrah.  

Saya coba menarik ingatan saya kembali ke belakang. Saat kecil, saya sering dihadapkan pada situasi sulit. Apabila diperluas ke ukuran negara, sederhananya disebut sebagai situasi hukum.

Tidak usah terlalu berat memikirkan kondisi politik bangsa pada tahun-tahun 1998 lah, tetapi situasi yang lebih sederhana dan membumi seperti pembenaran dapat menyogok polisi saat ditilang.

Pembenaran semua prosedur di kelurahan lancar saat ada pelicin, pembenaran bahwa KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) itu lumrah di pemerintahan, hingga pembenaran bahwa situasi hukum di Indonesia digambarkan begitu kacau sehingga memaksa saya (sebagai seorang anak di bawah 17 tahun pada saat itu) mengamini pembenaran yang dinarasikan berulang-ulang oleh orang tua saya.

Bayangkan, selagi masih menjadi anak dibawah umur saya yang dinarasikan oleh orang tua saya begitu kemudian menyebarkan ke anak-anak lain di sekolah.

Ketakutan-ketakutan semu itu menyebar dari saya ke teman-teman saya, dari teman saya ke teman yang lain dan begitu terus sampai semua anak se-Indonesia sepakat bahwa kondisi hukum Indonesia ini brengsek.

Sehingga dengan heroiknya anak-anak pada zaman tersebut menasbihkan diri bahwa "melanggar hukum itu keren" -- yang sialnya, bertahan ke anak-anak jaman now.

Ya, saya pernah berada pada titik tersebut. Kalian juga. Ya, ini perbuatan kita semua.

Pada fase berikutnya, otak kita kemudian bermutasi genetika. Memperluas pembenaran-pembenaran yang tidak benar itu ke level lebih tinggi. Ini juga dilatarbelakangi oleh kekecewaan kita terhadap media pertelevisian Indonesia atau media-media kreatif lainnya.

Pertelevisian diwarnai dengan sinetron-sinetron atau tayangan tidak jelas yang menampilkan banyak adegan sampah, sarat pembodohan dan menggiring pada perpecahan antar masyarakat.

Belum ditambah dengan situasi politik kekinian dimana istilah cebong kampret, reuni politik dengan identitas angka yang berbalut agama, dlsb yang kesemuanya membuat IQ, EQ dan rasa kemanusiaan kita jeblok.

Sehingga pada akhirnya, kita mencari oase yang dapat memberi asupan gizi bagi otak dan jiwa kita. Dan bertemulah 'supply' dan 'demand', pertemuan antara kita dengan situs-situs film illegal. Berkualitas, mudah, dan yang terpenting.. Gratis!

Yang perlu dicatat, bahwa kesemua penjelasan tadi tidak berdiri sendiri. Ia saling menyokong satu sama lain. Misal tidak mungkin kita mencari situs penyedia film illegal jika kita tidak sedang bokek. 

Atau tidak mungkin kita mencari situs penyedia film illegal jika situs tersebut ribet. Maka sampai sini, akui saja lah ini yang menjadikan kita gemar mengakses situs penyedia film illegal. Kita butuh pembenaran. Dan sialnya, pembenaran kita itu tidak benar kawan!

sumber: komik.grontol
sumber: komik.grontol

Ancaman hukum dibalik konsumsi film ilegal

Pernah tau apa ancaman yang mengintai ketika kita mengkonsumsi film illegal? Berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta ("UU Hak Cipta") definisi Ciptaan sebagai berikut:

"Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata."

Sejalan dengan definisi dimaksud, pasal 40 ayat 1 huruf m UU Hak Cipta menyebutkan bahwa sebuah film sebagai karya sinematografi masuk kategori dan dilindungi oleh UU Hak Cipta.

Sementara berdasarkan pasal 1 angka 12 UU Hak Cipta, yang dimaksud penggandaan adalah:

"Penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara" 

Nah sialnya, perbuatan menonton secara streaming atau mengunduh dalam bentuk apapun ke handphone/laptop kita melalui situs penyedia film illegal masuk kedalam kategori penggandaan suatu ciptaan secara tidak sah yang dapat dikenakan ketentuan dalam pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta yang berbunyi sebagai berikut:

"Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)"

Menyederhanakan penjelasan di atas, singkatnya bagi anda yang menonton film illegal maka anda terancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah. Tentu sebuah hukuman yang berat bagi kaum rebahan seperti klean.

Sulitnya berdamai dengan pembenaran yang tidak benar

Diwartakan kompas.com pada 03 Mei 2018, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI (LPEM FEB UI) melakukan survey kerugian yang timbul dari kebiasaan seseorang untuk mengakses film bajakan.

Hasilnya mengejutkan, disampaikan bahwa industri perfilman Indonesia setidaknya mengalami kerugian hingga Rp 1,495 triliun per tahun karena pembajakan film yang dilakukan melalui unduh illegal dan DVD Bajakan.

Kerugian tersebut seharusnya menghantam kita selaku penikmat industri kreatif, bahwa dampak yang timbul dari kebiasaan kecil kita itu nyata. Seseorang bisa menghasilkan karya itu membutuhkan modal yang tidak sedikit.

Saya tidak sedang mengajak anda berdebat betapa banyak uang para investor/sponsor dalam membiayai film. Tapi, saya hanya mengajak anda berpikir dengan sederhana. Bahwa ide, sekecil apapun atau sereceh apapun idenya tetap harus dihargai layaknya sebuah harta.

Ia adalah ciptaan. Kreasi yang manis dari kolaborasi otak, jiwa dan imajinasi. Saya rasa tidak perlu lah mengandai-andai dengan contoh yang terlalu tinggi. Setiap karya yang anda buat.

Entah itu masakan dengan kreasi sederhana, skripsi atau tesis yang dibuat susah payah sampai anda berhasil lulus atau bahkan kerajinan tangan yang anda buat dengan anak tercinta itu adalah ciptaan. Kreasi yang anda buat. Di balik hasil ada proses. Begitulah hukum alamnya.

Maka hargai karya dan ciptaan seseorang selayaknya anda menghargai karya yang anda pernah buat. Saya paham, sulit memang berdamai dengan pembenaran-pembenaran yang terlanjur tertanam di otak kita yang.. sialnya --harus diakui tidak benar. Melanggar hukum, atau apapunlah bahasa anda. 

Betapa tidak, sekalinya kita mau 'lurus', pasti ada saja kawan kita yang membully kita dengan kalimat pamungkas "yaelah, kaku amat lo", "sok bersih lo" atau sederet kalimat lainnya yang membuat kita tidak mempunyai pilihan lain selain menerima.

Tapi, apa iya sih sulit untuk memulai kebiasaan baru. Semudah kebiasaan nonton ke bioskop atau nonton ke aplikasi yang menyediakan film secara legal?  Toh sesuatu yang dinikmati secara legal tentu juga akan berdampak baik kepada diri kita suatu saat.

Karena seharusnya anda sepakat dengan saya, bahwa kebiasaan itu harus dimulai. Suatu hal yang baik harus ditanamkan. Dan saya percaya, orang-orang baik hanya menyebarkan semangat baik kepada orang baik lainnya.

Ya, kesadaran untuk berbuat baik dengan cara yang baik harusnya sudah dipupuk sejak lama. Karena kekayaan intelektual adalah pondasi yang kokoh dari industri kreatif. Dan sebagai penikmat industri kreatif negeri, kita sudah selayaknya mendukung kesadaran tersebut.

Oke, jadi apa anda sudah siap satu barisan dengan saya? Yuk kita mulai!***

Artikel juga ditayangkan di web pribadi penulis: muhmdaldi.weebly.com.

*) Merupakan pria keturunan Minangkabau yang memiliki kecintaan terhadap dunia Hukum. Saat ini masih menggeluti hobinya dalam menulis topik-topik seputar Hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun