Mohon tunggu...
Muhlisin Madras
Muhlisin Madras Mohon Tunggu... Penulis - Nasionalis, Agamis, Penulis

Kemanusiaan adalah intisari dari agama. Tidak beragama seseorang selama ia abai akan nilai-nilai kemanusiaan. Nasionalisme adalah penjamin dari kenyamanan beragama dan kemanusiaan itu sendiri. Salam.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu, Memilih "Suku"

5 Maret 2019   13:11 Diperbarui: 5 Maret 2019   13:29 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kode gambar surat suara yang akan digunakan pada pemilu 17 April 2019.

Pemilu sudah semakin dekat. Momen yang tentunya sangat menentukan bagi bangsa ini ke depan nanti. Sebagian dari wajah negeri akan diwarnai oleh hasil pemilu 17 April nanti.

Meski demikian, tidak berarti pemilu ini menjadi penentu Indonesia akan selamat atau 'kiamat'. Pemilu, sebagai sebuah siklus normal dalam negeri demokrasi, idealnya jadi energi positif untuk merangkai masa depan negeri yang lebih cerah di masa depan.

Karena sejatinya pemilu adalah cara atau alat demokrasi untuk memilih sosok yang akan dipercaya mengurus negara dan mengurus rakyat. Mengurus kepentingan negara dan memperjuangkan harapan rakyat.

"Jangan bango (bodoh). Pecah gara-gara pemilu, bengak (bodoh). Asal milih jugo bengak. Kito milih, milih 'suku'. Pilih yang ngerti, paham, jangan basing (sembarang)," kata Kasir (50an thn), seorang warga di Desa Muara Madras Kecamatan Jangkat, Merangin, Jambi.

Dalam khasanah budaya dan bahasa setempat, ada kata 'suku'. Tetapi sama sekali jauh dari suku yang diasosiasikan dengan SARA.

Suku, dalam bahasa Jangkat, adalah ninik mamak. Orang yang akan bertugas dan bertanggungjawab mengurus runding elok dan runding buruk anak buah anak keponakan-nya.

Jika ada hajat di desa, suku adalah orang yang akan paling sibuk. Dalam pepatah adat setempat digambarkan: 'Suku, betumpu se nang tajap, bepada se nang angant (Suku, yang bertumpu kepada sesuatu yang tajam, dan bertahan menahan sesuatu yang panas)'.

Chomah atau pepatah adat setempat itu memberi gambaran betapa vitalnya peran suku. Menyelesaikan segala masalah dan jadi juru runding bagi masyarakatnya masing-masing.

Nah, kembali ke konteks pemilu. Kasir, bukan orang yang melek politik dalam artian jadi politisi atau bergabung sebagai kader partai. Beliau tidak pula penyelenggara pemilu. Melainkan petani biasa seperti umumnya mayoritas warga setempat.

Kata 'milih suku' ala Kasir menjadi 'mahal' di alam demokrasi skala lokal. Terlebih, konon pemilu semakin dekat dan bisa saja bergerak jadi menjadi pesta demokrasi yang pragmatis-dominan.

Tak mudah memilih suku. Karena menjadi tak mudah pula jika tak punya suku yang memiliki kompetensi. Tak mudah juga  jika suku terpilih melalui proses demokrasi transaksional yang mencederai asal pemilu luber jurdil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun