Mohon tunggu...
Muhlis Lamuru
Muhlis Lamuru Mohon Tunggu... Guru - Penting tak Penting

Lahir di sebuah Dusun terpencil di Kab. Bone, Sulawesi-Selatan. Namanya, Dusun Masumpu, Des. Massengrengpu, Kec Lamuru. Dusun tersebut baru dialiri listrik PLN pada pertengahan tahun 1999. Muhlis Lamuru menghabiskan masa kecil di Kampung halaman dan bersekolah di MI 43 Pising (Masumpu) dan SLTP di Kecamatan sebelum hijrah ke Kota Makassar melanjutkan pendidikan menengah. Sejak 2004 hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan Tinggi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dan, tahun 2010 mencoba mengadu nasib n memulai hidup baru di Ibu Kota Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sokko' Lemma' na Sokko' Tojo

15 April 2020   10:15 Diperbarui: 15 April 2020   10:27 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tentu satu pihak justru menilainya benar dan itulah menjadikan diskusi kami menjadi lebih cair. Isu yang dimaksud adalah wabah virus corona (Covid-19) yang sedang melanda dunia dan juga Indonesia. Turunanya adalah wacana pembebasan tahanan yang digaungkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly untuk mencegah penularan virus corona yang berpotensi merambah lembaga pemasyarakatan (LP).

Iya, sebenarnya pembebasan tahanan bukan lagi sekedar wacana. Lebih dari 35 ribu tahanan sudah dibebaskan melalui program asimilasi sesuai keputusan Menteri Hukum dan HAM beberapa hari lalu. 

Malah dalam beberapa laporan online, ada tahanan yang baru bebas melalui program asimilasi kemarin itu sudah kembali beraksi. Rudi Hartono namanya. Ia terpaksa kembali dijebloskan di LP Kelas II Sengkang, Sulawesi Selatan karena kedapatan mencoba mencuri motor di rumah tetangganya sehari setelah ia dibebaskan, Rabu 8/04/20 lalu. Rudi Hartono bukan satu-satunya napi yang baru bebas kembali beraksi, ada M Bahri dan Yayan di Surabaya. Mereka kembali ditangkap karena terlibat kasus penjambretan di Surabaya tanggal 9/04/20 lalu.

Memang, kebijakan pembebasan tahanan ini bukan karena mereka sudah menjalani semua hukuman akibat perbuatannya. Menteri Hukum dan HAM membebaskan mereka melalui program asimilasi dengan dalih untuk mencegah penyebaran Covid-19 di LP. Iya, LP yang kini melebihi kapasitas normal dinilai rentan terhadap penyebaran Covid-19. 

Tidak tanggung-tanggung, ada LP yang over kapasitas hingga 300-400-500 persen dari kapasitas normal. Bisa dibayangkan bagaimana padatnya LP ketika dihuni tahanan hingga lima kali lipat dari kapasitas normal. Disini patut dipahami alasan pembebasan tersebut. Perlu langka-langka antisipasi untuk mencegah penyebaran Covid 19 di LP. Sebab, satu tahanan saja yang kena Covid-19, maka tahanan lainnya bisa dengan muda terpapar.

Untuk tujuan tersebut, setelah melewati penilaian yang konon ketat, puluhan ribu tahanan dibebaskan di berbagai LP di Tanah Air, 08/04/20 lalu. Tujuannya untuk mengurangi jumlah tahanan di LP. Hal ini dinilai perlu untuk mencegah penyebaran Covid-19 di LP. Dengan berkurangnya tahanan, berarti tindakan social distancing atau physical distancing bisa diterapkan. 

Sejauh ini, social distancing atau physical distancing yang digalakkan oleh pemerintah dinilai ampuh untuk mencegah penularan Covid-19 meski penerapannya belum maksimum. Lalu, apakah kebijakan membebaskan tahanan merupakan kebijakan tepat? Disinilah konsep sokko lemma' na sokko tojo menemukan titik relevansi.

Dari sekian alternatif kebijakan, pembebasan melalui program asimilasi dipilih. Apakah ada pilihan lain? Tentu saja ada, pengetatan penerapan protokol kesehatan di lingkungan LP misalnya. Saya meyakini sebetulnya pilihan ini juga sudah dilakukan. Penggunaan hand sanitizer dan sabun, penyemprotan disinfektan, serta penggunaan masker jamak diketahui dan diberlakukan di semua tempat publik. Muarahnya untuk mencegah penyebaran Covid-19. Saya yakin di lingkungan LP pun dilakukan. Selain itu, ada pilihan lain yang sebetulnya bisa diambil di lingkungan LP yaitu menambah kapasitas LP.

Iya, menambah kapasitas LP bisa menjadi solusi untuk mengurangi kepadatan di lingkungan LP. Tentu pilihan ini bisa diambil juga. Sekiranya ini bisa dilakukan, niscaya kepadatan itu dikurangi. Permasalahannya, menambah kapasitas LP bukanlah pekerjaan mudah. Butuh sumber daya manusia, waktu, dan dana yang tidak sedikit. 

Itulah sebabnya, di sini saya menempatkan pilihan menambah kapasitas LP sebagai sokko tojo yaitu pekerjaan yang sulit dilaksanakan. Pembebasan tahanan melalui program asimilasi merupakan pilihan yang mudah dan bisa dieksekusi dengan cepat. Oleh karena itu, pembebasan tahanan ibaratnya kita sokko lemma na santang manu, bisa dengan mudah dieksekusi sementara menambah kapasitas tahanan ibarat sokko tojo. Pengambil kebijakan lebih memilih sokko lemma dibanding sokko tojo yang memang jauh lebih sulit.

Nampaknya ungkapan sokko lemma na sokko tojo tidak hanya bisa menggambarkan kebijakan pembebasan tahanan di masa pandemi melainkan juga bisa melukiskan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diambil oleh pemerintah. Hal ini terkait dengan implikasi pembiayaan PSBB. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun