Mohon tunggu...
Muhammad Fadhilah
Muhammad Fadhilah Mohon Tunggu... Freelancer - Mengacak-acak pikiran serta cols.

Kenapa kok bio harus diisi? Tapi jujur, saya masih nyari pacar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi

12 September 2019   03:42 Diperbarui: 12 September 2019   04:12 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sungguh asyik main mainan demokrasi. Di gardu. Di teras kosan. Saat itu, pikiran saya mengatakan bahwa demokrasi adalah "apa?", Sebab saya tidak tahu arti dari hal tersebut dan rasanya juga tak ingin tahu. 

Meski begitu, sebagai warga pemerintah yang menjunjung tinggi demokrasi, jujur, tangan saya cukup pegel, sebab sudah sedari lahir tangan saya beradu dengan bobot demokrasi yang amat berat. Tapi lumayan juga, sebab setiap ada orang yang kurang ajar, kerasnya tubuh demokrasi dapat membuatnya terhajar.

Apakah saya salah karena menghajarnya? Ho, tentu tidak. Saya kan menghajarnya demi demokrasi. Dan dalam demokrasi pun, pendapat tiap-tiap orang kan dijamin. Dan saya berpendapat, menghajarnya adalah suatu hal yang benar. Dan saya menganggap, pendapat tersebut harus diartikulasikan. Dan pikir saya, keharusan tersebut adalah hal yang tepat.

Tak pelak hajar-hajaran pun terjadi.

"Begitulah dek, yang terjadi di negeri ini," ujar om.

Om itu orangnya demokratis. Misal: saat ada masalah. Meski begitu, ada saat ia harus radikal. Misal: saat kencan total (kentot) atau saat buat anak. Sebab kalo tidak radikal tidak bisa masuk 'anunya'. 

Ada saat ia harus liberal juga. Misal: saat adzan, saat berpolitik. Saat ia harus konservatif pun ada. Misal: saat baris berbaris, saat sembahyang, saat mendidik anak.

Dari hal tersebut, sadar tidak sadar, sesungguhnya, kita tidak benar-benar menjunjung tinggi demokrasi. Atau mungkin gampangnya, nilai demokrasi sudah ada dalam kehidupan sebelum lahir kata demokrasi. 

Atau mungkin mudahnya, demokrasi tepat bila diberlangsungkan dalam keadaan tertentu. Sehingga, pertanyaannya barangkali akan menjadi, dimana baik-nya alat demokrasi diberlangsungkan? Bila memang sudah diberlangsungkan, apakah yang berlangsung adalah demokrasi sungguhan?

Hal ini, barangkali, harus dijawab dengan menggunakan metode Das Sein dan Das Sollen. Atau semacam komparasi antara hal yang seharusnya terjadi dengan fakta empirisnya. Misal, sistem pemilihan presiden atau pemilihan legislatif saat ini, apakah sistem saat ini wujud sesungguhnya dari demokrasi? Apakah mereka yang maju memang maju karena demokrasi? Apakah memang tidak terjadi perniagaan dalam sistem yang mereka sebut demokrasi? Sebab tak dapat dielakkan, hal-hal seperti dagang janji, dagang kursi, beli suara, marak terjadi dalam pemilihan tersebut. Hingga pada akhirnya, menurut analogi yang diungkapkan Emha Ainun Nadjib, yang terjadi bukan makmum memilih imam, namun imam mencekoki makmum untuk memilihnya. Apakah hal tersebut tepat disebut demokrasi? Atau jangan-jangan ia adalah kewajaran dari demokrasi?

Barangkali, memang tak bisa ditepis, bahwa struktur sosial saat ini menghendaki para pemilik duit, untuk menduduki kursi kekuasaan. Hingga pola tersebut merangsek ke dalam segala aspek kehidupan. Meski begitu, imanensi tersebut bukan berarti tidak bisa diterobos. Sebagai wujud dari demokrasi, gerakan carangan untuk membentuk budaya yang berlainan sifatnya harus dicanangkan. Dan bila keadaan sudah menekan dan tak masuk akal, pergerakan tidak bisa lagi ditunda. Seperti tulisan berikut yang saya kutip dari buku berjudul Arus Bawah: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun