Mohon tunggu...
Muhammad Fadhilah
Muhammad Fadhilah Mohon Tunggu... Freelancer - Mengacak-acak pikiran serta cols.

Kenapa kok bio harus diisi? Tapi jujur, saya masih nyari pacar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia Kalah Oleh Ciptaannya

3 September 2019   11:20 Diperbarui: 3 September 2019   11:19 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sifat mengatasi zaman selalu muncul dalam setiap tahap kebudayaan. Hal tersebut dapat kita pahami sebagai cara manusia untuk menjinakkan daya-daya kekuatan disekitarnya. Daya-daya tersebut dapat berupa alam, roh halus, atau struktur sosial. 

Dalam penjinakkan tersebut manusia benar-benar melakukan sebuah evolusi. Dewasa ini, daya kekuatan tersebut (kebanyakan yang bersifat alam) telah dijinakkan/dapat dikendalikan oleh manusia setelah mundur beberapa langkah untuk mempertanyakan "apa itu". Pada tahap tersebut, manusia berada sebagai pengamat. Hasil amatan ia terjemahkan dalam definisi-definisi dengan menggunakan bahasa (lukisan, tarian, tulisan). 

Alhasil, manusia mulai menemukan identitasnya sendiri. Kesadaran tersebut membuat manusia mulai mengobjektifikasi masyarakat dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Perumusan nilai-nilai pun dilakukan, hingga menyebabkan percepatan pembaharuan-pembaharuan. Pada tahap kebudayaan tersebut, ditandai dengan beralihnya masyarakat feodal menjadi suatu bentuk masyarakat yang kedudukan sosialnya ditandai oleh jumlah modal yang dimiliki seseorang.

Bukan tanpa masalah. Tahap kebudayaan tersebut membuat manusia semakin jauh dari hal yang diamati. Dalam artian, manusia mulai mengisolasi diri dalam pemahamannya sendiri. Manusia semakin jauh juga dengan lingkungan sekitarnya. Masing-masing menyatakan sesuatu sebagai sebuah kebenaran mutlak. Perhubungan yang sering dinamakan dengan "masuk akal" diabaikan. Bertrand Russell menggambarkan tahap ini sebagai "atomisme logis".

 Ia adalah sebuah alam pikiran yang memandang kehidupan sebagai suatu peristiwa yang lepas antara satu dengan yang lain. Hobbes, filsuf inggris bahkan mengatakan, bahwa pada tahap tersebut manusia yang satu merupakan anjing serigala bagi manusia yang lain. Substansialisme, salah satu sebutan tahap kebudayaan tersebut, mempunyai kecenderungan untuk membekukan. 

Nilai-nilai agama, tata kelola negara, hukum-hukum, rumusan-rumusan yang dilahirkan ilmu pengetahuan, diberlakukan saklek tanpa pertimbangan-pertimbangan yang manusiawi. 

Adapun kebenaran-kebenaran yang ada, hanya dibeo dan diikuti saja serupa kreatifitas yang dihalangi. Bahayanya, kenyataan dianggap tidak relevan lagi sebab ilmu pengetahuan bahkan tak merendamkan tubuhnya dalam kenyataan. 

Usaha pembebasan pun lahir. Ia, umumnya, hadir dalam pikiran orang-orang yang muak dengan sistem-sistem tradisional yang berlaku. Pertanyaan-pertanyaan akan relevansi nilai-nilai pun mulai dipertanyakan. Meski begitu, budaya "apa itu" tidak luntur begitu saja. Orang-orang tadi menerobos dinding imanensi dengan membawa sebuah pertanyaan "bagaimana". Semacam, mereka mulai mempertanyakan arti daripada sesuatu bagi sesuatu lainnya. Simpelnya, hubungan-hubungan kembali dicari. 

Dalam tahap ini, manusia tidak lagi mempertanyakan hal yang terkatakan. Bila perkataan tersebut tidak ada penjelmaannya dalam kenyataan, dapat dikatakan, perkataan tersebut tidak valid. Sehingga retorika, bukan lagi hal yang dijunjung tinggi. Kata, bukan lagi suatu hal yang dapat dipastikan definisinya sebab ia mulai dipahami sebagai sesuatu yang definisinya tergantung konteks kalimatnya. Nilai-nilai pun diterobos dan dibuka kulitnya, dipertemukan hubungannya dengan manusia sendiri. Sehingga pencarian nilai-nilai pun dilakukan sambil berbuat. Sesuatu yang tak berarti lagi bagi manusia dikesampingkan. 

Tahap-tahap kebudayaan tersebut pun berpengaruh juga terhadap kemajuan teknik serta organisasi. Selain itu, setiap tahap-tahap kebudayaan tersebut pun juga menampakkan perubahan kelakuan manusia; dari yang tadinya ia hanya memandang dunia dari sebuah menara, bahkan sebelumnya ia takut terhadap dunia diluar "aku", hingga akhirnya manusia  mengubah wajah dunia seperti yang diinginkannya. Meski begitu, hal tersebut bukanlah ujung dari perkembangan dunia. Sebab muncul lagi daya kekuatan yang mengurung alam pikiran manusia. daya kekuatan tersebut adalah daya kekuatan yang diciptakan manusia sendiri, yaitu teknik serta organisasi.

Upaya pembebasan pun muncul. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya pertanyaan: apakah kemajuan tersebut perlu dibatasi? Bagaimana seharusnya manusia mengelola kekuatan-kekuatan tersebut (teknik dan organisasi)? pertanyaan tersebut janganlah diabaikan. Sebab bila diabaikan, manusia dapat menjadi korban daripada teknik dan ilmunya sendiri. Giorgio de Chirico, pelukis surealis Italia, pernah menggambarkan hal tersebut dengan gambar seorang ahli ilmu pasti yang terasing dari dunia sekitarnya. Menurut van Peursen, guru besar filsafat Universitas Negri di Groningen, gambar tersebut menjelaskan bahwa ahli ilmu pasti itu sendiri telah menjadi barang matematis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun