Mohon tunggu...
Muhammad Arif Wibowo
Muhammad Arif Wibowo Mohon Tunggu... Seorang guru, lulusan Universitas Negeri Yogyakarta

Mengajar di salah satu SMA Swasta Kab. Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nakal Masuk Barak: Antara Jalan Pintas dan Jalan Panjang Kasih Sayang

14 Mei 2025   20:39 Diperbarui: 14 Mei 2025   20:56 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tentara Indonesia (sumber: klikpositif.com)

Di tengah kepenatan orangtua menghadapi anak yang dianggap "nakal", kerap muncul godaan untuk mencari solusi cepat: mengirim sang anak ke barak militer atau sekolah berasrama. Seolah dengan menjauhkan anak dari rumah, masalah pun akan menjauh. Padahal, sejatinya, mendidik anak bukan perkara memindahkan tubuhnya ke ruang yang lebih disiplin, melainkan menyentuh jiwanya yang mungkin sedang mencari arah.

Barak militer atau sekolah berasrama memang menawarkan lingkungan yang terstruktur: aturan yang ketat, disiplin yang tak bisa ditawar, dan suasana yang mendukung keteraturan hidup. Dalam kondisi tertentu, pendekatan semacam ini bisa menumbuhkan rasa tanggung jawab, kerja sama, bahkan kemandirian. Apalagi, dengan menjauh dari pergaulan lama yang mungkin tak sehat, anak bisa terbebas dari pengaruh yang menyesatkan.

Namun, tak semua jiwa muda tumbuh subur dalam tekanan. Beberapa anak bisa jadi merasa dihukum, dijauhkan bukan karena kasih, tapi karena lelah. Pendekatan otoriter---yang tak menyentuh akar persoalan---justru bisa melahirkan luka. Sebab kenakalan anak sering bukan buah dari keburukan hati, melainkan jeritan yang tak terdengar: bisa karena tekanan akademik, konflik di rumah, atau gangguan mental yang belum dipahami. Dalam hal ini, mungkin,"institusi keras" tak akan menyembuhkan; mungkin ia hanya menambal luka yang belum dijahit.

Penting untuk diingat: sekolah atau barak bukanlah juru selamat. Ia hanya pembantu dalam perjalanan panjang pendidikan karakter. Tanggung jawab utama tetap bertengger di pundak orangtua. Maka diperlukan kemauan untuk merenung---apakah kenakalan anak murni berasal dari dirinya, atau justru cermin dari pola asuh yang kurang pelukan, kurang sabar, dan terlalu banyak tuntutan?

Sebelum tergesa "membuang" anak ke tempat asing, cobalah menapaki jalan lain yang mungkin lebih penuh makna. Konseling psikologis, misalnya, barangkali dapat membuka sebab-musabab perilaku anak yang negatif. Pun bisa juga beri kegiatan positif yang melibatkan mentor---seperti seni, olahraga, atau komunitas sosial---bisa menjadi ladang baru tempat ia menyalurkan energi dan mencari jati diri. Di rumah, bisa juga membiasakan menyiram hati anak dengan apresiasi, bukan hanya menegur saat ia keliru. Pilih juga sekolah yang tak sekadar mengajar, tapi membina. Jika perlu, duduklah bersama dalam terapi keluarga---karena sering kali, yang luka bukan hanya anak, melainkan seluruh dinamika rumah.

Tentu, ada kalanya barak atau sekolah asrama memang menjadi pilihan yang tepat. Terutama bila anak memang membutuhkan kedisiplinan tinggi dan menunjukkan minat ke arah itu. Namun, pastikan bahwa pilihan ini diambil bukan karena keputusasaan, melainkan dengan pertimbangan matang dan niat tulus untuk mendampingi. Libatkan anak dalam keputusan, agar ia merasa dihargai, bukan dikucilkan.

Pada akhirnya, #NakalMasukBarak bukan solusi ajaib. Ia bukan ujung jalan, hanya salah satu simpang yang bisa dilalui dengan hati-hati. Karena dalam mendidik, yang paling dibutuhkan anak bukanlah pagar kawat berduri, tapi tangan yang menggenggam, mata yang memahami, dan hati yang tak lelah mencintai---meski dalam nakalnya, ia tetap anak yang layak diperjuangkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun