Langit masih gelap saat Damar bangun dari tidurnya. Ia bukan anak orang kaya, juga bukan keturunan pejabat. Ayahnya buruh bangunan, ibunya penjual sayur keliling.Â
Sejak kecil ia tahu arti lelah, tahu rasa malu ketika tidak bisa bayar iuran sekolah tepat waktu, dan tahu rasanya menahan lapar agar adiknya bisa makan lebih dulu. Tapi sejak ia duduk di bangku SMA, ia bertekad: hidup ini tak boleh berhenti di garis kemiskinan. Ia harus melangkah keluar.
Setiap pagi, Damar membantu ibunya membawa sayur ke pasar sebelum berangkat sekolah. Lalu sore sampai malam harinya, ia bekerja di minimarket, mengisi rak-rak kosong, dan mencatat barang-barang masuk.Â
Bagi teman-temannya, masa remaja adalah tentang nongkrong dan media sosial. Bagi Damar, masa mudanya adalah perjuangan. Walau semestinya harus lebih banyak belajar dibanding bekerja.
Ketika lulus sekolah, ia tak langsung bekerja penuh waktu. Ia memilih kuliah sambil kerja. Ia tahu ini berat, tapi ia juga tahu satu hal: jika ingin hidupnya berubah, maka ia harus siap menempuh jalan terjal.
Di pagi hari, ia menjadi staf lepas di sebuah perusahaan percetakan. Ia mulai dari hal kecil, membuat teh untuk tamu, mencatat pesanan, mengantarkan paket. Tapi di sela-sela itu, ia mengamati cara kerja desain grafis, mencatat semua alur produksi, hingga memahami seluk-beluk pengelolaan bisnis. Ia tidak hanya bekerja, tapi belajar.
Damar juga mengambil kursus daring malam hari, belajar desain, pemasaran digital, dan manajemen keuangan. Setiap ilmu baru baginya adalah senjata untuk maju. Teman-temannya sempat mencibir, menganggapnya terlalu ambisius. Tapi ia hanya tersenyum. Ia tahu ke mana ia ingin pergi.
Damar sadar, apa yang ia lakukan mungkin tampak kecil bagi orang lain. Tapi baginya, itu seperti mengumpulkan kerikil untuk membangun sebuah istana. Setiap pengalaman, setiap pelajaran, setiap pengorbanan, adalah fondasi dari sesuatu yang lebih besar yang sedang ia rintis.
Setelah lulus kuliah, Damar tidak langsung melamar kerja di kantor besar seperti kebanyakan temannya. Ia memilih jalan sunyi: membuka usaha sendiri. Ia menyewa ruangan kecil di sudut sebuah ruko, mengubahnya menjadi studio desain dan percetakan. Modalnya tidak banyak, tapi semangatnya tak terbatas.
Hari-hari awal usaha itu penuh tantangan. Kadang tak ada pelanggan berhari-hari. Ia terpaksa menekan pengeluaran, makan seadanya, dan tidur di lantai kantor. Tapi ia tetap sabar dan konsisten.Â