Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Tanggal ini bukan sekadar tanggal historis, tetapi merupakan tonggak penting dalam perjalanan panjang bangsa menuju kemerdekaan.Â
Di tengah gempuran kolonialisme dan keterbelakangan, pada 1908 berdirilah organisasi Boedi Oetomo yang menjadi pelopor lahirnya kesadaran kolektif nasional.
Dua puluh lima tahun setelahnya, lahir pula monumen yang merekam semangat itu dalam bentuk nyata: Tugu Kebangkitan Nasional di Kota Solo, yang lebih dikenal sebagai Tugu Lilin.
Tugu ini bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga saksi bisu dari semangat zaman dan refleksi dari jiwa muda bangsa yang ingin bangkit dari keterjajahan.
Di hari-hari menjelang Hari Kebangkitan Nasional, tugu ini seakan memanggil kita untuk kembali merenungi arti kebangkitan yang sesungguhnya—dulu dan sekarang.
Awal Mula Tugu Lilin: Dari Gagasan ke Wujud Nyata
Pada 1933, jauh sebelum Indonesia merdeka, sudah muncul inisiatif untuk memperingati 25 tahun berdirinya Boedi Oetomo.
Gagasan ini datang dari Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI), suatu federasi ormas politik yang menyadari pentingnya mengabadikan semangat kebangsaan. Panitia pembangunan tugu pun dibentuk, dipimpin oleh Mr. Singgih dan beranggotakan tujuh orang.
Sebuah sayembara diselenggarakan untuk menentukan desain tugu. Dari tiga peserta, terpilihlah rancangan Ir. Soetedjo—arsitek muda yang berhasil menuangkan semangat kebangkitan nasional dalam bentuk tugu menyerupai lilin.
Bentuk ini dipilih karena lilin merupakan simbol penerang dalam kegelapan, harapan di tengah keputusasaan. Inilah makna filosofis yang kuat: bangsa yang sedang dijajah membutuhkan cahaya untuk menerangi jalan menuju kemerdekaan.
Izin pembangunan diberikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono X pada November 1933. Peletakan batu pertama dilakukan awal Desember tahun itu. Tugu ini dibangun di tanah lapang kawasan Penumping, Laweyan, Surakarta, dengan luas lahan 140 meter persegi dan tinggi tugu mencapai 9 meter.