Pernah ada masanya berpikir bahwa semakin banyak buku yang berhasil dibaca, maka semakin hebat rasanya. Daftar bacaan dipajang seperti piala, seolah-olah kuantitas adalah ukuran utama kecerdasan. Tapi seiring waktu, mulai terasa ada yang kurang dari pola pikir itu.
Jumlah tak selalu berbanding lurus dengan dampak. Ada buku yang dibaca dalam sehari lalu terlupa keesokan harinya, tapi ada juga satu buku yang dibaca selama berbulan-bulan dan masih terus terngiang sampai bertahun-tahun kemudian.
Karena ternyata, membaca bukan sekadar soal kecepatan atau seberapa banyak halaman yang berhasil ditamatkan. Yang lebih penting justru sejauh mana diri ini terlibat dalam percakapan sunyi dengan si penulis. Apakah benar-benar memahami maksudnya, atau hanya sekadar lewat tanpa jejak?
Tapi pernahkah berhenti sejenak, lalu bertanya: "Sebenarnya, apa sih yang sedang kita cari dari membaca?"
Ternyata, membaca tak sekadar soal berapa cepat mata menelusuri halaman demi halaman. Lebih dari itu, yang lebih penting justru seberapa dalam kita terlibat dalam “pembicaraan sunyi” dengan si penulis. Sebab setiap buku—apa pun genrenya—selalu membawa pesan. Tatkala membaca bukan cuma menangkap huruf, tapi meresapi makna di balik kata-kata.
Dari buku-buku yang ditelusuri, semakin terasa bahwa dunia ini sangat luas. Banyak hal yang sebelumnya tak terpikirkan, tiba-tiba hadir lewat sebuah kalimat. Dan lucunya, makin banyak membaca, makin terasa betapa sedikit yang benar-benar diketahui.
Makin banyak membaca, makin sadar bahwa masih sangat sedikit yang benar-benar dipahami. Ada kerendahan hati yang tumbuh. Banyak pengetahuan, perspektif, dan cerita di luar sana yang belum sempat dijangkau. Setiap buku baru bisa saja menyadarkan betapa sempitnya cara pandang yang selama ini diyakini.
Terkadang muncul rasa tidak nyaman saat membaca buku yang isinya bertentangan dengan pandangan sendiri. Namun, justru dari ketidaknyamanan itu, pikiran mulai terbuka dan tumbuh.
Membaca buku yang bertentangan dengan keyakinan pribadi bukan berarti mengkhianati prinsip. Tapi di situlah proses berpikir diuji. Apakah bisa tetap terbuka mendengar ide yang berbeda? Atau justru memilih menghindar dan menutup pintu rapat-rapat?
Bukan selalu untuk setuju, melainkan untuk mengerti. Bukan untuk membenarkan, tetapi terkadang untuk memperluas perspektif. Belajar untuk mendengarkan, meski tidak harus setuju. Karena di situlah letak perkembangan: saat berani menghadapi pikiran yang berbeda.