Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... unknown

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fenomena Kemarau Basah: Antara Anomali dan Kewaspadaan Kita

16 Mei 2025   17:42 Diperbarui: 19 Mei 2025   03:31 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hujan di musim kemarau di Indonesia.(SHUTTERSTOCK/ND700 via Kompas.com)

Berasa nggak sih, hari-hari belakangan ini kalau siang cuacanya panas, tapi menjelang sore tiba-tiba mendung, lalu hujan deras turun, bahkan kadang sampai malam. Padahal menurut kalender musim, sekarang ini kita sudah masuk musim kemarau. Tapi kok masih sering hujan ya? Setelah mencoba cari tahu, ternyata fenomena ini disebut kemarau basah.

Meski secara kalender sudah memasuki musim kemarau, sejumlah wilayah di Indonesia justru masih sering diguyur hujan. Fenomena ini bukan tanpa sebab. 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut Indonesia sedang mengalami kemarau basah. Ini bukan musim hujan yang datang terlambat, tapi memang musim kemarau yang tetap diwarnai hujan deras di beberapa wilayah.

Mengutip dari Kompas.com Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa kemarau basah adalah kondisi ketika seharusnya hujan mulai berkurang, namun kenyataannya masih ada hujan dengan intensitas cukup tinggi. Biasanya musim kemarau itu identik dengan langit cerah, matahari bersinar terang, dan udara kering. Tapi pada kemarau basah, kelembapan udara tetap tinggi, sehingga hujan tetap saja turun.

Penyebab dari fenomena ini cukup kompleks. BMKG mencatat sejumlah dinamika atmosfer yang turut berperan, seperti adanya sirkulasi siklonik di sekitar wilayah Indonesia, fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO), serta gelombang atmosfer seperti gelombang Kelvin, Rossby Ekuator, dan Low Frequency. Semua ini memicu terbentuknya awan-awan hujan meski seharusnya sudah musim kering.

Fenomena ini tidak terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia. Daerah-daerah dengan pola hujan monsunal seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara menjadi yang paling terdampak. Wilayah-wilayah ini biasanya memiliki dua musim yang jelas, yaitu musim hujan dan kemarau. 

Dalam kondisi normal, mereka hanya mengalami satu puncak hujan dan satu puncak kemarau. Tapi tahun ini, pola itu terganggu karena hujan tetap turun di musim kemarau.

BMKG memperkirakan kemarau basah ini akan berlangsung hingga Agustus 2025. Setelah itu, Indonesia diprediksi memasuki masa pancaroba pada bulan September hingga November, sebelum musim hujan kembali datang di Desember hingga Februari 2026. Dengan kata lain, cuaca ekstrem masih mungkin terjadi dalam beberapa bulan ke depan.

Fenomena kemarau basah ini tentu membawa dampak yang cukup besar, terutama bagi sektor pertanian. Petani yang biasanya menyesuaikan pola tanam dengan musim, kini dibuat bingung. 

Misalnya, ketika mereka menanam tanaman yang butuh sinar matahari, malah hujan terus yang datang. Sawah bisa kebanjiran, tanaman bisa membusuk, dan hasil panen pun terancam gagal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun