Di balik kemerdekaan sebuah bangsa, selalu ada barisan tokoh yang bekerja dalam senyap, menyalakan cahaya di tengah kegelapan. Salah satu di antaranya adalah Rohana Kudus (Roehana Koeddoes), seorang perempuan Minangkabau yang tak hanya menorehkan sejarah sebagai wartawati pertama Indonesia, tapi juga membangkitkan kesadaran perempuan untuk berpikir merdeka, belajar setara, dan bersuara lantang.Â
Ia hadir bukan sebagai bayang-bayang para pejuang pria, tapi sebagai cahaya itu sendiri yang menuntun kaum hawa agar berani berdiri tegak di tengah dominasi patriarki.
Kisah hidupnya bukan sekadar lembaran sejarah, melainkan napas panjang perjuangan perempuan Nusantara yang hingga kini masih mengalir dalam denyut nadi emansipasi, pendidikan, dan pers Indonesia.Â
Dari Koto Gadang untuk Nusantara
Siti Rohana, nama kecilnya, lahir pada tahun 1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat, dalam keluarga yang cukup terpandang. Ia adalah saudari tiri dari Sutan Sjahrir---Perdana Menteri pertama Indonesia---dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh besar lainnya, Haji Agus Salim. Lahir dari lingkungan keluarga berpengaruh tidak membuat Rohana terbuai kenyamanan. Justru, dari rumahnya itulah ia mulai memahami pentingnya ilmu dan kecerdasan sebagai bekal hidup.
Masa kecil Rohana tidak diisi dengan pendidikan formal seperti anak-anak lelaki di sekitarnya. Ia tidak bersekolah seperti yang umum dilakukan di zaman sekarang. Namun, semangat belajarnya luar biasa.Â
Ia kerap menyimak percakapan intelektual ayahnya, bahkan mulai menguasai berbagai bahasa asing seperti Arab, Melayu-Arab, Jawi, Latin, hingga Belanda pada usia yang masih belia.Â
Kegemarannya membaca membuatnya akrab dengan dunia luar, ide-ide progresif, dan wacana pembebasan perempuan yang kelak menjadi arah perjuangannya.
Membaca adalah Perlawanan Pertama
Rohana kecil tumbuh menjadi remaja yang haus akan ilmu. Buku, majalah, koran---apa pun bentuk tulisan, semuanya ia lahap. Di saat perempuan pada umumnya hanya diajarkan mengurus rumah tangga, Rohana menjadikan membaca sebagai bentuk perlawanan intelektual terhadap sistem yang membatasi kaumnya.Â
Ia mulai menyadari bahwa perempuan, bukan karena kodratnya, tetapi karena sistem patriarki dan budaya yang memenjarakan, kerap tertinggal dari laki-laki dalam hal pendidikan dan peluang.
Pada tahun 1908, ia menikah dengan Abdoel Koeddoes---seorang pria yang berpikiran maju dan menjadi pasangan sejiwa dalam perjuangannya. Nama "Roehana Koeddoes" pun resmi disandang. Uniknya, suaminya tidak hanya mendukung cita-cita istrinya, tetapi juga menjadi teman diskusi yang aktif dalam mendesain perubahan sosial melalui jalur pendidikan dan tulisan.