Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... unknown

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hidup Serba Terhubung, tapi Jiwa Kosong: Mengapa Kita Merasa Hampa di Era Modern?

4 Mei 2025   20:40 Diperbarui: 5 Mei 2025   16:49 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hidup terasa hampa (sumber gambar: copyright freepik.com/jcomp) 

Kenapa hidup di era modern terasa kosong dan hampa? Apakah kita kehilangan hal-hal yang paling manusiawi.

Di tengah gemerlap teknologi, koneksi supercepat, dan segala kemudahan instan yang ditawarkan zaman ini, ada satu hal yang makin sulit kita dapatkan: rasa cukup dan makna yang dalam. 

Banyak dari manusia saat ini, terutama generasi milenial dan Gen Z seperti saya, hidup dalam kehampaan di tengah dunia yang serba digital, serba cepat, dan penuh kecanggihan teknologi. 

Ironisnya, meski hidup kini tampak lebih mudah dibanding generasi sebelumnya, rasa kosong justru kian sering menghampiri. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita coba menyelaminya lebih dalam.

Kita Punya Banyak "Teman", Tapi Merasa Sendiri

Coba lihat media sosial kita. Isinya ratusan nama, foto, dan status. Tapi, berapa banyak dari mereka yang bisa benar-benar kita hubungi saat hati kita sedang remuk? Banyak dari kita merasa takut dianggap merepotkan, takut dicap lemah, atau hanya jadi beban.

Kita hidup di dunia yang terlihat sangat terhubung, tapi kenyataannya kita sangat terisolasi. Kehangatan yang dulu didapat dari obrolan tatap muka kini digantikan oleh balasan singkat seperti "wkwk", "haha", atau sekadar emoji. Itu pun sering kali tanpa makna. 

Kita jadi terbiasa berinteraksi tanpa benar-benar hadir. Kita menghindari percakapan yang mendalam, takut dianggap terlalu serius atau terlalu "baper". Padahal justru di situlah esensi manusia: terhubung secara emosional, bukan hanya secara digital.

Sherry Turkle (2011), dalam bukunya Alone Together, menyebut ironi digital kita: kita makin terkoneksi, tapi justru makin kesepian. 

Hubungan yang dibangun hanya lewat likes dan emoji tak akan pernah cukup untuk memberi rasa hangat yang sejati. Ia hanya memberi ilusi keintiman---kosong seperti ciki isi angin.

Kita sering tak sadar bahwa kita hanya mencari validasi, bukan relasi. Kita lebih takut kehilangan notifikasi daripada kehilangan hubungan nyata. 

Kita lebih sering memeriksa siapa yang menonton story kita, daripada menanyakan kabar sahabat kita yang dulu selalu ada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun