Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, sebuah tonggak perjuangan kelas pekerja melawan ketidakadilan dan eksploitasi.Â
Namun di Indonesia, peringatan Hari Buruh 2025 berlangsung dalam suasana penuh kegelisahan: nilai tukar rupiah yang anjlok melewati Rp16.000 per dolar AS, gelombang PHK massal, serta tekanan global yang kian menyesakkan industri padat karya. Semua ini menggarisbawahi bahwa buruh Indonesia bukan hanya tengah berjuang untuk upah layak, tapi juga untuk sekadar bertahan hidup.
Di tengah kondisi yang sulit ini, Monumen Nasional (Monas), Jakarta, menjadi pusat peringatan Hari Buruh. Sekitar 200 ribu buruh dari Jabodetabek hingga Serang dan Purwakarta memadati lapangan.Â
Diperkirakan, lebih dari 1,2 juta buruh di seluruh Indonesia turut menggelar aksi serupa di masing-masing daerah. Mereka tidak hanya berorasi, tetapi membawa harapan dan tuntutan konkret kepada pemerintah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa ada enam isu penting yang menjadi fokus aksi tahun ini: penghapusan outsourcing, pembentukan satuan tugas PHK, upah layak, pengesahan RUU Ketenagakerjaan baru, perlindungan pekerja rumah tangga melalui RUU PPRT, serta pemberantasan korupsi melalui RUU Perampasan Aset.Â
Menariknya, Presiden Prabowo Subianto hadir langsung dalam peringatan ini, menjadi presiden RI kedua setelah Sukarno yang menemui buruh secara langsung dalam peringatan May Day. Kehadirannya dipandang sebagai sinyal penting atas niat baik, meski realisasi kebijakan tetap menjadi pertaruhan utama.
Namun perayaan itu kontras dengan realitas pahit di lapangan. Sektor padat karya seperti tekstil dan sepatu---yang selama ini menjadi penyangga lapangan kerja nasional---tertekan hebat akibat kombinasi dari kebijakan fiskal pemerintah dan tekanan eksternal. Demi efisiensi, subsidi energi dan bantuan sosial dipangkas.Â
Program padat karya tersendat. Akibatnya, banyak industri tidak lagi mendapat dukungan memadai untuk bertahan, terlebih di tengah lonjakan biaya produksi dan pelemahan permintaan global.
Lebih mengkhawatirkan lagi, kebijakan dagang proteksionis dari Amerika Serikat yang kembali diterapkan oleh Presiden Donald Trump turut menekan napas industri ekspor Indonesia. Tarif impor yang tinggi terhadap produk-produk dari negara berkembang membuat produk Indonesia kehilangan daya saing.Â
Tak sedikit pabrik garmen dan alas kaki harus mengurangi kapasitas produksi, dan itu berarti ribuan buruh kehilangan pekerjaan. Ini bukan sekadar dampak ekonomi, melainkan tragedi sosial.