Ramadan bukan sekadar bulan suci bagi umat Islam, tetapi juga momen istimewa untuk merenung, memperkuat keimanan, serta menjalin hubungan sosial yang lebih erat.
Bagi seorang remaja, menjalani ibadah puasa tentu menjadi pengalaman yang penuh tantangan. Selain menahan lapar dan haus, mereka juga harus beradaptasi dengan perubahan pola tidur dan aktivitas harian.Â
Namun, di balik tantangan tersebut, ada banyak pelajaran berharga yang bisa memperkaya kesehatan mental mereka, terutama jika dikaitkan dengan nilai-nilai ajaran budaya tradisi.
Menemukan Makna di Balik Tantangan Ramadan
Remaja adalah masa peralihan yang penuh gejolak. Perubahan hormon, tekanan akademik, serta ekspektasi sosial sering kali membuat mereka rentan terhadap stres dan kecemasan. Ramadan, dengan berbagai tuntutan ibadahnya, bisa menjadi ujian tambahan.Â
Misalnya, mereka harus bangun lebih pagi untuk sahur, menahan emosi saat berinteraksi, hingga tetap menjalankan aktivitas sekolah atau kegiatan lainnya dengan energi yang terbatas.
Dalam budaya Jawa, ada konsep ngelmu prihatin---yakni belajar menahan diri demi mencapai kebijaksanaan--- konsep ini dapat menjadi pegangan bagi remaja dan bagi semuanya juga.
Prinsip ini mengajarkan bahwa kesulitan dan keterbatasan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi justru bagian dari proses pendewasaan diri. Dalam konteks puasa, ngelmu prihatin mengajarkan bahwa pengendalian diri dari rasa lapar, haus, serta dorongan emosional merupakan cara untuk membangun karakter yang lebih kuat dan bijaksana.
Lebih dari sekadar menahan diri, konsep ini juga menekankan pentingnya introspeksi. Ramadan adalah waktu yang tepat bagi remaja untuk merefleksikan kebiasaan mereka, memahami emosi dengan lebih baik, serta mengembangkan kesadaran diri.
Dengan membiasakan diri untuk menghadapi tantangan dengan sikap tenang dan penuh kesabaran, maka akan lebih siap menghadapi berbagai rintangan dalam kehidupan di luar Ramadan. Jika diterapkan dengan baik, ngelmu prihatin akan membantu remaja menjadi lebih mandiri, tidak mudah terpengaruh oleh tekanan sosial, serta lebih mampu mengelola stres dengan bijak.
Saya sendiri menerapkan konsep ini yang diajarkan oleh orang tua saya dan sampai saat ini masih belajar. Agar nantinya bila sudah benar-benar matang dan dewasa bisa mendapat manfaatnya dan diajarkan pula ke sesama dan ke generasi penerus.