Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan featured

Menjadi Ekofeminis, Wasiat Kartini di Hari Bumi

21 April 2018   06:48 Diperbarui: 22 April 2019   16:05 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: systemicalternatives.org

APA ITU EKOFEMINIS?

Sejatinya, pekan ini selain hari Hari Kartini, 21 April, ada satu hari baik lagi yang mungkin tidak kita sadari, yakni Hari Bumi 22 April. Maka bertolak dari dua momen tersebut penulis mengajak pembaca merekayasa nalar dan kesadaran tentang hikmah di dua hari baik tersebut. Mari mengingat dua momentum ini dalam satu wacana yakni menjadi ekofeminis, menjadi Kartini di Hari Bumi. Apa itu Ekofeminis?

Sebelumnya, dalam kajian filsafat dikenal Ekosofi, filsafat tentang keselarasan atau ekuilibrium lingkungan, dikenalkanpertama kali tahun 1972 oleh Arne Ness, tokoh Deep Ecology. Ekofeminisme adalah salah satu ragam ekosofi yang menguji relasi antara dominasi atas kaum perempuan dan dominasi atas alam.

Ekofeminisme merupakan jembatan yang menghubungkan isu-isu lingkungan dan isu-isu perempuan. Menurut Sachiko Murata, ada relasi yang erat antara perempuan dan bumi, sehingga ia menyebut: "alam sebagai ibu dan istri dan rahim perempuan sebagai alam atau bumi." 

Vandana Shiva, seorang dokter asal India, mengatakan ada kesamaan-kesamaan antara dominasi patriarkhal atas perempuan dan alam. Dalam perkembangannya, Ekofeminisme dimuati oleh nilai-nilai spiritual dan teologis dari tradisi-tradisi besar agama dunia serta kearifan budaya lokal yang ada dalam peradaban manusia.

Maka, menurut penulis, menjadi ekofeminis adalah menjadi manusia yang mempunyai kesadaran membela hak-hak perempuan sekaligus hak-hak alam. Mengapa perempuan harus dibela? Mengapa alam harus dijaga? 

KARTINI : PESAN KESADARAN PEREMPUAN

Membincangkan Kartini, simbol kebangunan kesadaran emansipatori perempuan Indonesia, tak luput dari wacana jender. Jender adalah pembagian peran lelaki dan perempuan berdasar konstruksi sosial budaya, semisal masyarakat Minangkabau menganut pola matriarkhi (garis keibuan) berbeda dengan masyarakat Jawa menganut patriarkhi (garis keturunan ayah). 

Perbedaan jenderdi berbagai daerah berdampak adanya perbedaan peran sosial lelaki dan perempuan di masyarakat tersebut, semisal: perempuan Jawa didapuk sebagai ibu rumah tangga (peran domestik) dengan berbagai idiom pendukung (dapur, sumur, kasur, masak, macak, manak; citra pinggan, pigura, peraduan, pilar rumah tangga, pergaulan),sedang perempuan Bali atau Dayak banyak berperan di publik (pekerja ladang,pasar). 

Gender beda dengan Sex, pembagian peran lelaki dan perempuan berdasar jenis kelamin. Seks merupakan kodrat biologis, dimana perempuan menjalankan fungsi reproduktif (mengandung, melahirkan, menyusui). Sederhananya begitu. Apa masalahnya?

Masalahnya, mayoritas masyarakat Indonesia menganut paham patriarkhi dan dalam terapan cenderung merugikan perempuan, sehingga melahirkan ketidakadilan gender.

Perempuan relatif menjadi korban sistem sosial patriarkhis, antara lain kekerasan seksual (lisan, fisik, psikhis), subordinasi (suwarga nunut neraka katut - surga menumpang neraka terbawa, tidak terlibat dalam pengambilan keputusan politik/rumah tangga), marjinalisasi perempuan (peminggiran peran: tenaga kerja murah, pelengkap : sekretaris, SPG), beban ganda (fungsi reproduktif sekaligus fungsi produksi, sebagai ibu, isteri sekaligus pencari nafkah), stereotype (pelabelan negatif: WIL, 'ibu tiri', 'nenek sihir') dan tindakan-tindakan seksis lainnya yang setara rasisme. 

Segala hal dipusatkan pada lelaki (androsentris). Peran sosial tersebut didasari pada kondisi biologis perempuan, karenanya perempuan dianggap tidak cocok berperan di ranah publik, dan kalaupun 'terpaksa' di ranah publik maka diberi peran yang dianggap 'sesuai' dengan sifatnya: perawat, guru, bendahara dan seksi konsumsi. Tragisnya, ketidakadilan gender tersebut didukung oleh lembaga sosial yang ada, seperti (tafsir) agama, media massa, politik,ekonomi dan sebagainya.

BUMI: SIRATAN AYAT TUHAN

Bumi merupakan salah satu bagian makrokosmos (alamsemesta) yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia selaku khalifah/wakil Tuhan di muka bumi atau 'wali planet'. Terdiri dari berbagai tonggak gunung pun kubangan lembah dan ngarai di hamparan darat hingga samudera dan lautan yang tak tumpah di balutan bumi yang bulat. 

Dalam relasi harmoni antara Tuhan-alam-manusia, kedudukan alam, termasuk bumi, dan manusia sejajar di sudut derivasi, yakni sama-sama sebagai makhluq (ciptaan sang Khaliq), sebagai 'akibat' dari 'sebab pertama' (Causa Prima), pun sebagai tanda kawniyyah atau ayat tersirat dari Tuhan.

Seluruh makhluk dengan ukurannya masing-masing merupakan manifestasi Tuhan, mengindikasikan kehadiranNya. Oleh karenanya, semua makhluk bertasbih/memuji Tuhan pun bersujud padaNya, sesuai dengan kadar, potensi dan cara masing-masing.

Tugas manusia adalah menjalankan amanat perwalian atas bumi tersebut sebaik mungkin, dengan potensi akal yang telah diberikan Tuhan. Akal adalah tanda derajat kemulian manusia yang membedakannya dengan makhluq hidup lainnya. 

Amanat kedua sebagai konsekuensi kehalifahan tersebut adalah tidak melakukan berbagai kerusakan dimuka bumi. Maka, manakala manusia melakukan sebuah perilaku merusak atas lingkungan, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, sejatinya ia telah melakukan satu ecoside (bunuh diri lingkungan). 

Hal ini berarti manusia telahmengabaikan amanat Tuhan. Dalam konteks teologi Islam, menurut Toshihiko Izutsu, setara dengan kufr, tertutup/ mengabaikan karunia yang telah diterimanya, lawan kata 'syukur' (terbuka).

Balasan terdekat Tuhan atas perilaku eksploitatif tersebut mewujud dalam keragaman reaksi makhluq, salah satunya dengan bencana. Berbagai bencana alam, selain sebagai suatu fenomena alam(sunnatuLlah / nature), juga merupakan suatu fenomena sosial (nurture), akibat perilaku manusia yang cenderung merusak dan berujung pada kemusnahan sumber daya milik publik (the tragedy ofthe commons).

Justru faktor kedua (perilaku merusak manusia) yang dominan mempengaruhi, baik secara individual (gaya hidup : materialisme, konsumtif, hedonis), komunal (keluarga boros energi - budaya masyarakat pop/floating mass), swasta (industri ekonomidan teknologi kapitalis) dan negara (kebijakan-kebijakan yang salah dan tidak ramah ekologi).

EKOFEMINIS: WASIAT KARTINI UNTUK BUMI

Kartini adalah perempuan Indonesia, ibu kita-anak-anak negeri Nusantara. Ibu yang pernah hidup di lembah sosial budaya feodaldan patriarkhi. Dengan spirit keibuan pun kemudaannya (korban kawin muda-paksa?), dalam kungkungan budaya lokalitas Jawa, ia mencoba bangkit dengan bersentuhan dengan dunia global, meski sekadar bahasa seratan. (Andai Kartini mengenal FB, e-mail, Maka perubahan itu akan spektakuler!). 

Hingga suara jiwa dan nalarpikirnya berkembang menyeberang lautan, mengembara melintasi batasan dimensiruang-waktu, maka "Habis Gelap Terbitlah Terang". Bisa jadi, Kartini muda adalah gadis saleha yang rajin mengaji, sehingga terkesan dan yakin dengan kalam Tuhan, '... yukhrijuuhum minadh dhulumaati ilanNuur' :("...Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya..." QS.Al Baqarah: 257). Wallahua'lam.

Wasiat Kartini selama ini dimaknai sebagai upaya sadar perempuan untuk memperjuangkan hak-hak kemanusiaanya, dalam bahasa 'emansipasi'. Maka, di Hari Bumi ini, wasiat Kartini bisa kita kembangkan ke subjek dan ranah yang lebih luas, bukan untuk perempuan pun tentang kepentingan perempuan semata. 

Wasiat Kartini adalah wasiat untuk pewaris negeri untuk turut berjuang dengan kesadarannya membela hak-hak kemanusiaan sekaligus hak kemakhluqan, yakni menjaga alam agar tidak rusak. Wasiat Kartini tidak sekadar menonjolkan kedirian perempuan melalui kontes kecantikan, produk industri ramah perempuan, memaksakan kuota perempuan, dan sebagainya. Melainkan juga mengangkat spirit feminitas manusia (rasa asih, asah, asuh pada lelaki pun perempuan) untuk turut menjaga kelestarian alam. 

Ahli waris 'spirit Kartini' adalah kita, perempuan-lelaki Indonesia dengan amanat agar menjaga harkat dan kehormatan perempuan serta menjaga kelestarian alam. Sungguh, menjaga harkat perempuan adalah menjaga kehormatan ibu kita, menjaga kehidupan sesama. 

Mengutip kata Sachiko Murata, menjaga kelestarian alam dan bumi adalah menjaga harkat kemanusiaan (kaum) ibu dan isteri kita. Tuhan mengisyaratkan kesadaran penjagaan ini dalam sebuah majas pars pro toto pada kalamNya:

"...bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...." (QS.Al-Maaidah: 32).

Terakhir,sejatinya ekofeminisme pun wasiat ibu kita, Kartini. Tanggung jawab menjadi ekofeminis adalah tanggung jawab setara, perempuan dan laki-laki. Bukan sekadar kepentingan sepihak dan sesaat (perempuan kekinian), tetapi lebih sebagai kepentingan kemanusiaan yang lestari dan berkelanjutan (generasi kini -- kelak). 

Potensi maskulinitas dan feminitas yang ada pada manusia perlu dikembangkan secara integral dalam mengabdi kepada Tuhan dan mengelola alam, agar muncul relasi harmoni tiga dimensi (Tuhan-alam-manusia) yang organis. 

Masalahnya, siapkah kita menjadi ekofeminis? Apakah kita sekadar feminis yang antroposentris ataupun konservasionis yang biofasis? Atau malah kita belum menjadi apa-apa? Jawabnya ada di nurani kita masing-masing. Baiknya, dengarkan dendangan lagu anak-anak "gen ekofeminis" di hari-hari baik ini: 

"...ibu kita Kartini, ibu pertiwi

putri Indonesia, alam namaNya

wahai ibukita Kartini, bumi yang mulia

sungguh besar tanda-tandaNya, bagi kita semua...

dst...(lanjutkan sesuai nada hati kita)".

Selamat Hari Kartini ... Hari Bumi!

Wallahua'lam bishshawwab.

Referensi:

www.alquran-digital.com.

Abdullah,Mudhofir, Dr., 2010. Al-Quran & Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari'ah. Jakarta: Dian Rakyat, Cet. pertama.

Attfield,Robin, 2010. Etika Lingkungan Global. Jogjakarta:Kreasi Wacana, Cet. pertama.

Izutsu,Toshihiko, 2003. Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur'an, terj. Agus Fahri Husein. Yogyakarta : Tiara Wacana Press, cet.II.

Murata, Sachiko, 1996. The Tao of Islam. Bandung: Mizan.

* Dikutip dari buku penulis,Muh. Arba'in Mahmud, 2015. Ekoteologi Moloku Kie Raha, Gagasan Pengendalian Ekosistem Hutan Maluku Utara, Yogyakarta : The Phinisi Press.

* Termuat di Harian Malut Post, 27 April 2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun